Kebijakan PPN 11% Jadi Sorotan dalam 2 Tahun Jokowi-Ma’ruf Amin

56 views
Presiden Jokowi (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)

SURABAYA, suryametro.id – 2 Tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin disorot saat menaikkan tarif PPN dari 10 menjadi 11 persen. Relaksasi pajak dinilai menjadi kebijakan yang harus dipertahankan.

Pakar Ekonomi Universitas Brawijaya (UB), Nugroho Suryo Bintoro mengatakan, saat sektor ekonomi bergerak tumbuh seiring kebijakan pemerintah tiba-tiba muncul keputusan menaikan tarif PPN menjadi 11 persen. Meskipun tidak begitu signifikan, dikhawatirkan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi ke depan.

“Namun sebetulnya disayangkan fase pemulihan, ternyata PPN naik 1 persen. Ini sebetulnya sangat disayangkan karena kita berhdapan dari sisi demand atau permintaan barang dan jasa, masyarakat kita ingin tumbuh tiba-tiba, ya memang tidak siginifikan dari 10 menjadi 11 persen, tapi kita butuh relaksasi sebentar,” ujar Nugroho, dikutip dari detikcom, Rabu (20/10/2021).

Menurut Nugroho, semestinya relaksasi tetap dipertahankan hingga kwartal pertama 2022. Setelah fase tersebut, barulah pemerintah bisa menaikkan tarif PPN. Karena kondisi saat ini, yang dibutuhkan adalah relaksasi untuk seluruh golongan masyarakat.

“Mungkin menghabiskan waktu sampai kwartal pertama atau semester pertama 2022 baru dinaikkan, nah itu tidak ada persoalan. Tapi relaksasi kita butuhkan untuk segala golongan seluruh masyarakat. Itu mungkin bisa menjadi pertimbangan jangka pendek nanti. Namun dari sisi paling signifikan adalah sisi konsumsi kita, kalau butuh itu naik tapi dibebani PPN 11 persen, saya khawatir pertumbuhan tidak akan sebagus yang kita harapkan nanti,” terang pengajar di Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UB ini.

Nugroho mengungkapkan, masa pemulihan dengan pencanangan new normal telah gagal dikarenakan gelombang kedua COVID-19. Sementara negara lain telah melalui fase gelombang ketiga, Indonesia harus waspada. Karena tak lagi berbicara soal kesehatan, melainkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi gelombang ketiga.

“Beberapa negara sudah menghadapi gelombang ketiga, maka kita harus betul-betul waspada. Karena kalau tidak, kita akan berhadapan tidak lagi bicara kesehatan, tetapi sudah bicara lagi bagaimana manusia bisa berjalan atau masalah ekonomi. Kalau ekonomi tidak bisa didorong, maka akan menjadi masalah besar,” tegasnya.

“Kalau gelombang ketiga diminta bertahan maka akan sangat berat, karena yang terganggu bukan lagi masyarakat ekonomi bawah tetapi masyarakat ekonomi menengah,” ungkapnya.

Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Malang ini menilai masyarakat kelas ekonomi menengah merupakan booster perekonomian Indonesia. Pemerintah harus menjaga betul, melalui kebijakan-kebijakan yang diputuskan. Siapa masyarakat ekonominya itu? yakni mereka yang membuka usaha dengan modal di atas Rp 1 miliar.

“Jadi kita bicara tidak lagi masyarakat ekonomi bawah, tetapi masyarakat ekonomi menengah yang ini menjadi bosster perekonomian Indonesia dan ini yang harus dijaga. Jadi mereka jangan terganggu di sisi demand kalau terganggu imbasnya akan ke masyarakat ekonomi ke bawah,” tegasnya.

(detik.com)