JAKARTA, suryametro.id – Menteri Investasi sekaligus Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengungkapkan komitmen investasi Uni Emirat Arab (UEA) ke Indonesia mencapai US$44,6 miliar atau setara Rp636,88 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS). Rencananya, komitmen ini akan direalisasikan pada 2022-2024.
“Kita punya komitmen yang sudah diteken sebesar US$44,6 miliar. Ini bukan angka kaleng kerupuk, ini angka yang akan kita handle,” ujar Bahlil saat konferensi pers virtual, Kamis (11/11).
Berdasarkan lembaga pengelola, komitmen investasi senilai US$26,6 miliar atau Rp379,84 triliun akan dikelola oleh Kementerian Investasi/BKPM. Sisanya, US$18 miliar atau Rp257,04 triliun akan dikelola oleh Lembaga Pengelola Investasi (Indonesia Investment Authority/INA).
Dari US$26,6 miliar yang masuk melalui kementerian, sekitar US$15 miliar atau Rp214,2 triliun merupakan komitmen investasi dari Air Product and Chemicals Inc. (APCI) dengan PT Pertamina (Persero), PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan swasta. Rencananya, proyek akan dijalankan mulai Januari 2022.
Mereka akan membangun industri hilirisasi berupa gasifikasi batu bara. Tujuannya, untuk menyulap komoditas energi fosil tersebut menjadi methanol, dimethyl ether (DME), dan bahan lain yang lebih bernilai tinggi, sehingga target transformasi ekonomi tercapai.
“Ini akan kita lakukan karena impor gas kita 5,5 juta sampai 6 juta dengan cadangan devisa yang kita keluarkan tidak kurang dari Rp50 triliun sampai Rp75 triliun. Makanya kita gantikan dengan DME,” ucapnya.
Tak hanya untuk mengejar hilirisasi industri, Bahlil mengklaim investasi ini bisa memberikan subtitusi impor pada komoditas yang lebih murah, sehingga efisien bagi industri lain. Selain itu, juga menciptakan kedaulatan energi bagi Indonesia dan menciptakan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.
“Mereka akan bangun di Kalimantan, sebagian di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Jawa Barat,” imbuhnya.
Selain di hilirisasi, rencananya UEA juga akan masuk ke sektor kesehatan, khususnya untuk membuat obat covid-19. Tapi, ia belum menyebutkan berapa rencana investasinya.
UEA juga akan mengalirkan investasi ke sektor pelabuhan melalui kerja sama Dubai Port (DP) World dan PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo. Komitmen investasinya mencapai US$7,5 miliar atau Rp107,1 triliun melalui pembentukan perusahaan konsorsium.
“Ini untuk mengembangkan pelabuhan supaya kita tidak bergantung pada negara tetangga, kita ini terlalu di-nina bobo kan. Jadi DP World akan bekerja sama dengan BUMN Pelindo untuk bangun sentral pelabuhan besar agar bisa langsung ekspor ke mana-mana ini,” jelasnya.
Selanjutnya, Bahlil menyebut UEA juga akan berinvestasi di sektor pertanian dan pusat data. Namun, ia belum merinci investasi itu.
Sementara aliran investasi US$18 miliar yang masuk melalui INA terdiri dari US$10 miliar untuk proyek pembangunan ibu kota negara (IKN) baru di Indonesia dan sisanya beragam sektor dan proyek. Proyeksinya, UEA berminat investasi di IKN untuk pembangunan fasilitas gedung, teknologi informasi (IT), hingga kawasan industri hijau.
“Tapi memang target kita ini semua bukan dijalankan di 2022 semua, ini direncanakan sampai akhir 2023 atau awal 2024 paling lambat. Targetnya semua sudah direalisasikan sebelum akhir periode Pak Jokowi-Ma’ruf,” katanya.
Lebih lanjut, Bahlil mengatakan pemerintah ingin aliran investasi dari UEA terus meningkat dari waktu ke waktu. Sebab, menurut pandangannya, UEA punya posisi yang strategis di tingkat internasional.
Negara ini memiliki jaringan bisnis yang kuat dengan negara-negara lain, mulai dari Amerika Serikat, Eropa, hingga China. Untuk itu, ia ingin UEA menjadi lima besar negara yang kerap mengalirkan investasi ke Indonesia.
“Tapi ini memang tidak mudah untuk yakinkan orang Arab, kita harus ada strategi, chemistry, hubungan baik antara Raja, Pemerintah UEA, dan Presiden Jokowi,” ucapnya.
Selain itu, ia memastikan pemerintah terus berusaha memberikan keyakinan dan pelayanan perizinan terbaik bagi investor UEA. Saat ini, pemerintah sudah membangun tim kecil untuk menindaklanjuti seluruh komitmen investasi dari UEA dan akan terus dibahas.
“Semua masalah di dalam negeri, kita yang akan urus, urusan mereka hanya teknologi, modal, dan pasar, jadi ada kolaborasi percepatan investasi. Izinnya akan kita kawal sampai bangun infrastruktur, jangan ada gangguan ‘hantu-hantu’ di lapangan, kita jalani sampai dia produksi baru kita lepas, jalan kau,” tuturnya.
Di sisi lain, Bahlil turut membagi pengalamannya mempelajari karakteristik investor UEA dengan negara-negara lain, seperti Jepang, Korea, China, hingga Eropa dan Amerika Serikat.
Menurutnya, karakteristik investor Jepang adalah rumit di awal tapi lancar di akhir. Sebab, mereka sangat teliti dalam membentuk proposal kerja sama investasi. Karakteristik investor Jepang, mirip dengan Korea Selatan.
Sementara karakteristik investor China justru sebaliknya, biasanya mudah di depan, tapi di belakang ada penyesuaian yang saat eksekusi. “China gampang di depan, di belakang belok-belok,” imbuhnya.
Sedangkan investor Eropa dan AS punya karakteristik sangat peduli dengan lingkungan. Maka dari itu, proyek kerja sama investasi selalu diukur dengan tingkat keramahan proyek terhadap lingkungan dan juga pemanfaatan teknologi serta EBT.
“Nah, UEA ini gabungan dari AS, Eropa, China, Jepang, dan Korea. Mereka sangat teliti dan prinsip bisnisnya bagus, harus ada chemistry, peduli lingkungan juga, EBT juga, jadi gabungan, makanya tidak gampang,” tandasnya.