JAKARTA, suryametro.id – Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan aturan volume suara masjid lalu membuat perbandingan dengan gonggongan anjing. Founder lembaga survei Kedai KOPI Hendri Satrio, menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengevaluasi Yaqut gara-gara hal itu.
Hendri awalnya bicara soal suara azan yang selama ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Dia menyebut suara azan selama ini bukan sekadar panggilan salat, tapi juga wujud kerukunan antarumat beragama.
“Alunan azan bukan hanya sekadar panggilan bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah salat. Tapi juga merupakan simbol toleransi beragama karena pada saat yang bersamaan pemeluk agama lain menghormati itu,” ucap Hendri kepada wartawan, Kamis (24/2/2022).
Dia kemudian mengomentari aturan volume masjid yang dibuat Menag Yaqut. Menurutnya, pemahaman toleransi beragama yang dimiliki Yaqut sangat tipis.
“Aturan yang baru saja diterbitkan Menag Yaqut apalagi membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing itu sangat membuat saya sedih dan saya juga kecewa sekali bahwa pemahaman toleransi beragama Menteri Agama Yaqut sangat tipis dan dangkal,” ucapnya.
Dia berharap Yaqut segera menyadari kekeliruan yang dia sampaikan. Hendri mengatakan Menag harus meminta maaf kepada umat Islam.
“Segera introspeksi diri dan meminta maaf ke seluruh umat Islam di Indonesia karena telah membandingkan alunan merdu suara azan dengan gonggongan anjing,” ucapnya.
Dia juga menilai Jokowi harus menegur Yaqut gara-gara membandingkan aturan suara dari masjid dengan gonggongan anjing. Menurutnya, Jokowi bisa mengevaluasi posisi Menag.
“Pak Jokowi harus menegur menterinya yang satu ini karena toleransi harus dibangun dengan rasa bukan dengan prediksi dan perkiraan,” ucapnya.
“Azan itu panggilan ibadah, penanda masuk waktu salat. Presiden mesti evaluasi Menag,” sambung Hendri.
Sebelumnya, Menteri Agama Yaqut menjelaskan, dia tidak melarang penggunaan pengeras suara oleh masjid ataupun musala. Menurutnya, pemerintah hanya mengatur besar volume.
“Soal aturan azan, kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan. Kita tidak melarang masjid-musala menggunakan toa, tidak. Silakan. Karena itu syiar agama Islam,” katanya di Gedung Daerah Provinsi Riau, Rabu (23/2).
Dia meminta volume pengeras suara diatur maksimal 100 desibel (dB) sebagaimana tertera dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Selain itu, waktu penggunaan disesuaikan di setiap waktu sebelum azan.
“Ini harus diatur bagaimana volume speaker tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan mereka bisa mulai gunakan speaker itu sebelum dan setelah azan. Tidak ada pelarangan,” ujar Yaqut.
“Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis. Meningkatkan manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan,” sambungnya.
Yaqut menilai suara-suara dari masjid selama ini merupakan bentuk syiar. Namun dia menilai suara dari masjid bisa menimbulkan gangguan jika dinyalakan dalam waktu bersamaan.
“Misalnya ya di daerah yang mayoritas muslim. Hampir setiap 100-200 meter itu ada musala-masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka menyalakan toa bersamaan di atas. Itu bukan lagi syiar, tapi gangguan buat sekitarnya,” katanya.
“Kita bayangkan lagi, saya muslim, saya hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim menghidupkan toa sehari lima kali dengan kenceng-kenceng, itu rasanya bagaimana,” kata Yaqut lagi.
Dia kemudian mencontohkan suara-suara lain yang dapat menimbulkan gangguan. Salah satunya ialah gonggongan anjing.
“Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu,” katanya.
Sumber: detik.com