Faktor di Balik Lonjakan Infeksi Corona di India Terungkap

79 views
Ilustrasi penduduk India mengenakan masker di tengah lonjakan kasus infeksi virus corona. (AP/Anupam Nath)

JAKARTA, suryametro.id – Sejumlah ilmuwan India mengatakan pemerintah mengabaikan peringatan dari mereka mengenai bahaya virus corona (Covid-19) mutasi yang lebih ganas, B.1.617.

Terlepas dari peringatan itu, empat ilmuwan tergabung dalam Konsorsium Genetika SARS-CoV-2 (INSACOG) mengatakan pemerintah India tidak berusaha memberlakukan pembatasan skala besar untuk menghentikan laju penularan virus, meski sudah dipaparkan tentang bahaya virus corona mutasi itu.

Peringatan tentang varian baru diterbitkan INSACOG pada awal Maret. Menurut seorang ilmuwan yang mengetahui masalah itu, hasil penelitian kemudian disampaikan kepada pejabat tinggi pemerintah yang melapor ke Perdana Menteri Narendra Modi.

Akan tetapi, pemerintahan Modi belum memberi tanggapan mengenai laporan itu.

INSACOG dibentuk sebagai forum penasehat ilmiah oleh pemerintah India khusus untuk mendeteksi varian genom virus corona yang berpotensi mengancam kesehatan masyarakat, pada Desember 2020 lalu. Forum itu menggandeng 10 laboratorium nasional yang diandalkan dalam mempelajari varian virus corona.

Direktur Institute of Life Sciences sekaligus anggota INSACOG, Ajay Parida, mengatakan pihaknya mendeteksi virus B.1.617 pada awal Februari lalu.

Forum ilmuwan itu melapor temuannya ke Pusat Pengendalian Penyakit Nasional (NCDC) Kementerian Kesehatan India sebelum 10 Maret. INSACOG memperingatkan infeksi dapat meningkat dengan cepat di beberapa negara bagian akibat penyebaran virus itu.

Pada saat itu, INSACOG mulai menyusun keterangan pers untuk Kementerian Kesehatan. Isinya menguraikan temuan yakni virus varian baru India memiliki dua mutasi signifikan pada bagian virus yang menempel pada sel manusia, dan saat dilacak menjangkiti 15 persen hingga 20 persen penduduk di Maharashtra, salah satu negara bagian India yang paling parah terdampak pandemi corona.

Dalam keterangan pers itu, para ilmuwan menuliskan mutasi dari varian virus India, yakni E484Q dan L452R, patut diwaspadai.

Sebab, virus itu dapat bermutasi dengan lebih mudah memasuki sel manusia dan melawan respons kekebalan seseorang terhadapnya.

Pemerintah India baru mempublikasikan temuan itu dua pekan kemudian, yakni pada 24 Maret, tetapi tidak memasukkan kata-kata supaya virus itu patut diwaspadai. Pemerintah saat itu menyatakan untuk mencegah penyebaran varian baru virus corona itu hanya dengan dua cara, yakni meningkatkan jumlah pemeriksaan dan karantina.

Memang sejak itu jumlah pemeriksaan, virus corona di India bertambah sampai 1,9 juta per hari.

Ketua Dewan Penasehat INSACOG, Shaheed Jameel, mengatakan prihatin dengan sikap pemerintah yang tidak mempertimbangkan bukti ilmiah saat menetapkan kebijakan.

“Kebijakan harus didasarkan pada bukti dan bukan sebaliknya. Saya khawatir pembuatan kebijakan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Namun, saya tahu dimana batas saya harus berhenti. Sebagai ilmuwan, kami memberikan bukti, pembuatan kebijakan adalah tugas pemerintah,” kata Jameel, seperti dilansir Reuters, Senin (3/5).

Direktur pusat penelitian di India mengatakan draf rilis pers itu dikirim ke Sekretaris Kabinet Rajiv Gauba, yang melapor langsung kepada Modi.

Reuters sudah menghubungi Gauba untuk meminta konfirmasi. Namun, yang bersangkutan tak memberi tanggapan, sehingga belum diketahui apakah temuan itu sampai ke telinga Modi.

Ilustrasi kremasi jenazah pasien virus corona di India. (AP/Rafiq Maqbool)

Pemerintah India tak mengambil langkah apa-apa untuk mencegah penyebaran varian baru. Sehingga orang yang terinfeksi meningkat empat kali lipat pada 1 April dan dari bulan-bulan sebelumnya.

Modi dan puluhan politisi lainnya justru sibuk menggelar kampanye pemilihan kepala daerah sepanjang Maret hingga April.

Pemerintah juga mengizinkan festival keagamaan Kumbh Mela, atau mandi di sungai selama beberapa pekan, dan dihadiri oleh jutaan umat Hindu. Sementara itu, puluhan ribu petani diizinkan tetap berkemah di pinggiran ibu kota New Delhi untuk memprotes undang-undang pertanian yang baru.

INSACOG kemudian melaporkan temuan mereka ke Pusat Pengendalian Penyakit Nasional (NCDC) di New Delhi. Direktur NCDC, Sujeet Kumar Singh, baru-baru ini mengatakan keputusan penguncian wilayah (lockdown) ketat seharusnya diterapkan pada awal April.

“Waktu yang tepat, menurut pemikiran kami, adalah 15 hari sebelumnya,” kata Singh dalam rapat pada 19 April.

Singh tidak mengatakan dalam pertemuan tersebut apakah dia memperingatkan pemerintah secara langsung tentang perlunya lockdown. Dia hanya mengatakan sudah menyampaikan hal itu kepada pemerintah.

“Saya sudah menyatakan dengan sangat jelas kalau tidak ada kebijakan tegas yang diambil sekarang juga, maka bakal terlambat untuk menahan lonjakan kematian seperti yang akan kita lihat,” kata Singh.

Singh mengatakan saat itu sejumlah pejabat menyatakan khawatir jika pemerintah kembali menerapkan lockdown, maka bisa memicu kerusuhan di sejumlah kota kecil. Selain itu, menipisnya persediaan oksigen turut membuat rumit permasalahan yang tengah dihadapi.

Desakan supaya pemerintah segera bertindak juga disampaikan oleh Satuan Tugas Nasional Covid-19 India. Satgas itu dibentuk pada akhir April lalu yang beranggotakan 21 pakar kesehatan.

Tugas mereka adalah memberikan panduan dan teknis kepada menteri kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan. Satgas itu dipimpin oleh V.K. Paul yang merupakan salah satu penasihat Modi dalam urusan pandemi virus corona.

Menurut seorang ilmuwan yang hadir dalam rapat Satgas Covid-19 India pada 15 April, saat itu seluruh anggota sepakat bahwa ada bahaya mengancam dan pemerintah perlu memberlakukan lockdown. Menurut dia, Paul hadir dalam rapat itu.

Paul tidak menjawab permintaan konfirmasi Reuters tentang isi rapat itu.

Dua hari setelah Singh meyampaikan pendapat, Modi berpidato di depan negara pada 20 April dan menyatakan menentang lockdown nasional.

Dia mengatakan lockdown harus menjadi pilihan terakhir dalam memerangi virus corona. Penguncian nasional India yang pernah diberlakukan selama dua bulan pada tahun lalu membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan dan menghancurkan perekonomian mereka.

“Kami berada dalam situasi yang sangat serius. Orang lebih banyak mendengarkan politikus daripada ilmuwan,” kata Shanta Dutta, seorang ilmuwan penelitian medis di Institut Nasional Penyakit Kolera dan Penyakit Enterik India.

Direktur Pusat Biologi Seluler dan Molekuler yang juga anggota tim INSACOG, Rakesh Mishra, mengatakan komunitas ilmiah negara itu sedih terhadap sikap pemerintah dalam memperlakukan saran dari ilmuwan.

“Kami bisa melakukan lebih baik, ilmu kami bisa diberikan lebih penting. Apa yang kami amati dengan cara apa pun, itu seharusnya digunakan dengan lebih baik,” katanya kepada Reuters.

Menurut Direktur Institut Nasional Genom Biomedis India sekaligus anggota INSACOG, Saumitra Das, kondisi saat ini ibarat nasi sudah menjadi bubur. Menurut dia kekeliruan itu tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah.

“Tidak ada gunanya menyalahkan pemerintah,” kata Das.

Sumber: CNNIndonesia