JAKARTA, suryametro.id – Pidato Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada Senin lalu, 16 Agustus menjadi sorotan publik. Sebab, dalam pidato tersebut, Presiden menyampaikan bahwa defisit anggaran tahun 2022 direncanakan sebesar 4,85 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau Rp868,0 triliun.
Defisit anggaran tahun 2022 akan dibiayai dengan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang aman dan dikelola secara hati-hati, dengan menjaga keberlanjutan fiskal. Komitmen untuk menjaga keberlanjutan fiskal itu dilakukan agar tingkat utang dalam batas yang terkendali.
Menurut Teuku Riefky, Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI), pada semester I-2021, utang pemerintah memang mengalami lonjakan dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Namun, menurutnya, kenaikan utang pemerintah tersebut masih dalam batas aman.
Riefky mengutip beleid yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam UU Keuangan Negara itu disebutkan, batas maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 60 persen.
“Jadi, kalau rasio utang masih di bawah ketentuan UU, maka bisa disebut utang pemerintah masih dalam posisi aman,” kata Riefky dikutip dalam keterangannya, Jumat 20 Agustus 2021.
Dengan batasan tersebut, menurut Riefky, rasio utang Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan sejumlah negara lainnya. “Rasio utang Indonesia kenaikannya masih di bawah PDB. Tapi, rasio utang negara lain, kenaikannya ada yang di atas PDB-nya. Ini terutama dialami oleh negara-negara di kawasan Afrika dan Uni Eropa,” kata Riefky.
Hal yang sama juga diungkapkan Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam. Menurutnya rasio utang pemerintah saat ini masih tergolong sehat karena persentase rasio utang pemerintah masih di bawah angka yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara. “Artinya, pemerintah tidak melanggar ketetapan undang-undang,” katanya.
Piter menambahkan, kenaikan jumlah dan rasio utang pemerintah di tahun ini juga bukan tanpa sebab. Pada masa pandemi COVID-19, pembiayaan pemerintah atau belanja negara terkerek naik. Pemerintah banyak mengalokasikan anggaran belanja untuk bidang kesehatan dan sosial guna menanggulangi penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap ekonomi.
Pemerintah juga menggelontorkan berbagai program stimulus. Di antaranya insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada kendaraan bermotor dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di sektor properti. Belum lagi, berbagai kebijakan tersebut didukung oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Menurut perhitungan Piter tambahan utang pada tahun 2021 dan 2022 mendatang, belum akan membuat utang pemerintah melampaui batas 60 persen dari PDB. Alasannya karena utang pemerintah saat ini didominasi oleh utang domestik.
“Sementara utang luar negeri umumnya adalah utang jangka panjang. Dengan mempertimbangkan kondisi itu saya melihat kondisi utang pemerintah masih relatif aman,” ujar Piter.
(viva.co.id)