BAUBAU, suryametro.id – Unit Tipidkor Sat Reskrim Polres Baubau mengungkap adanya kasus dugaan tindak pidana korupsi (TPK) di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bahteramas Baubau. Dugaan yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 1,8 miliar itu terkait penyalahgunaan kewenangan pengelolaan dana perusahaan daerah BPR Bahteramas Baubau tahun anggaran 2014-2017.
Hal itu pun dibenarkan Kasat Reskrim Polres Baubau, Iptu Najamuddin. Kepada awak media saat di konfirmasi, dugaan TPK di BPR Bahteramas ini terungkap karena adanya laporan hasil audit internal. Perkiraan dugaan kerugian keuangan negara sebesar Rp1.817.594.023, anggarannya menggunakan dana sharing yang bersumber dari APBD Sultra dan APBD Kota Baubau.
Dari pengembangan laporan audit internal tersebut, Polres Baubau kemudian menerbitkan surat perintah penyelidikan pada 20 April 2021. Selanjutnya, Unit Tipidkor melakukan penyelidikan dengan memanggil dan meminta keterangan dari berbagai pihak. Total sedikitnya sudah 30 orang saksi yang dipanggil untuk dimintai keterangannya. Diantaranya pihak BPR Bahteramas sendiri, nasabah, termasuk menghadirkan saksi ahli.
Setelah berkas perkara tersebut dianggap lengkap intim ditingkatkan statusnya, Pihak Polres Baubau kemudian ekspos BPKP dan melakukan gelar perkara di Dirkrimsus Polda Sultra ada 13 Oktober 2021 lalu. Hasilnya, disepakati untuk kasus tersebut ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Setelah itu, pihaknya akan kembali memanggil pihak-pihak terkait untuk menetapkan tersangka.
“Dalam waktu dekat setelah pemeriksaan, penyidikan, sehingga akan kita panggil ulang semuanya setelah itu baru menetapkan Tersangka,” beber Najamuddin diruang kerjanya, kemarin.
Mantan Kapolsek Kawasan Pelabuhan Murhum itu melanjutkan, meski kasus tersebut merupakan dugaan terjadinya kejahatan perbankan, tapi karena dugaan korupsi tersebut dananya bersumber dari keuangan negara dalam hal ini APBD, maka dikenakan Undang-Undang Tipikor. Bukan undang-Undang Perbankan.
Najamuddin membeberkan, dalam kasus ini ada beberapa modus yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan pribadi dari keuangan negara itu. Pertama, adanya kredit fiktif. Untuk modus ini, contoh orang yang sudah meninggal dunia digunakan namanya untuk diajukan permohonan kredit. Karena diduga ada keterlibatan pihak Bank, maka semua proses itu dipermudah untuk bisa mencairkan anggaran kredit.
Modus kedua, penempatan dana deposito berjangka dan penerimaan dana bunga deposito. Misalkan, deposito berjangka setahun. Tapi, dalam perjalanannya belum setahun dananya telah dipindahkan untuk digunakan pada penempatan deposito lainnya. Sedangkan bunganya sudah di ambil lebih dulu setahun.
“Jadi uangnya Bank yang di putar-putar. Misalkan, dananya Rp 100 juta untuk deposito 1 tahun. Belum, setahun uangnya sudah ditarik bersama bunganya,” bebernya.
Modus terakhir adalah pemberian kemudahan pada proses perjanjian kredit nasabah pada anggunan kredit yang jumlahnya tidak sesuai dengan besaran pinjaman nasabah. Najamuddin mencontohkan, misalkan nilai anggunan Rp 50 juta tapi kreditnya jauh lebih tinggi. Begitu juga, misalkan dalam proses pengajuan kredit harus menggunakan sertifikat, tapi dengan hanya menggunakan kompensasi sudah bisa mencairkan kredit.
“Kedudukan sertifikat dan kompensasi itu berbeda. Kompensasi bukan hak milik, jadi tidak bisa dijadikan jaminan kredit,” tambahnya.
Diakhir wawancara, Najamuddin membeberkan saat ini juga pihaknya tengah mengusut sejumlah kasus dugaan korupsi yang terjadi di wilayah hukum Polres Baubau. Bahkan, ada beberapa kasus yang akan ditingkatkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan.
“Selain kasus ini, ada beberapa kasus yang akan menyusul. Ada beberapa perkara korupsi yang akan segera digelarkan perkara dari lidik ke sidik. Gelar perkara di Polda untuk peningkatan status perkara,” tutup pria yang juga pernah menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Buton ini.
Penulis : Hariman