Bisa Apa Novel Baswedan dkk di Tengah Budaya ‘Siap Salah’?

135 views
Novel Baswedan dkk. usai mengikuti sosialisasi pengangkatan khusus sebagai ASN Polri di Mabes Polri, Jakarta, Senin (6/12). Mereka dinilai akan terhambat kultur di Polri jika bergabung. (Foto: cnnindonesia/michael josua)

JAKARTA, suryametro.id – Gerak Novel Baswedan dkk. dinilai akan terhambat budaya di Polri jika menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) korps bhayangkara.

Sebanyak 44 dari 57 pegawai pecatan Firli Bahuri di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima tawaran menjadi ASN di Korps Bhayangkara. Senin (6/12), mereka menyambangi Mabes Polri guna membahas lebih lanjut tawaran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu.

“Pilihannya sulit ya. Tentunya pilihannya mau berbuat atau tidak berbuat,” dalih Novel kepada wartawan usai pertemuan.

Sebelum beralih menjadi pegawai KPK pada 2014, Novel sempat menjadi bagian Korps Bhayangkara sejak 1999. Ia pernah bertugas di Bareskrim Polri pada 2005-2007, sebelum kemudian ditugaskan ke KPK.

Jika resmi menjadi ASN Polri tahun ini, Novel dikabarkan akan bertugas di bidang pencegahan Polri tujuh tahun seusai mengundurkan diri sebagai penyidik kepolisian.

Kembalinya Novel dengan membawa gerbong baru ke Polri ini menimbulkan pertanyaan.

Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengaku pesimistis dengan kontribusi eks pegawai KPK di kepolisian. Menurut Sugeng, para pecatan KPK itu mestinya bisa lebih leluasa di luar melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi secara independen.

“Mereka bisa di luar membentuk kelompok independen, yang mengawasi. Bahkan mereka lebih leluasa menjalin jaringan dengan siapapun,” kata dia, kepada CNNIndonesia.com, Selasa (7/12).

Sugeng terutama meragukan kultur independensi para mantan pegawai KPK dengan budaya di kepolisian. Sebagai ASN, apalagi di kepolisian, menurut Sugeng, budaya tegak lurus adalah harga yang tidak bisa ditawar.

Meski secara normatif bawahan berhak menolak perintah atasan yang salah, ia menyebut pada praktiknya itu hanya pepesan kosong di lingkungan bhayangkara. Perintah atasan, kata dia, adalah hal mutlak yang harus dilakukan para ASN di kepolisian.

“Tidak ada cerita itu membantah, mungkin memberikan masukan boleh, tapi tidak ada cerita membantah. Semua harus siap. Bahkan siap salah,” cetusnya.

Budaya ‘siap salah’ di Korps Bhayangkara ini, menurut Sugeng, sangat bertolak belakang dengan kultur Novel dkk. selama di KPK. Kerja-kerja pemberantasan korupsi di lembaga antirasuah, lanjutnya, adalah kerja-kerja tim kecil yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, oleh atasan sekalipun.

Budaya tersebut terbentuk selama puluhan tahun di antara para pegawai KPK. Oleh karena itu, ia meragukan hal itu bisa seketika berubah usai para pegawai kelak menjadi bagian Korps Bhayangkara.

Sugeng pun menyebut tawaran Kapolri kepada para mantan pegawai KPK itu hanya pemanis. Dia justru menduga Presiden Jokowi, hanya menggunakan Listyo sebagai alat pasang badan atas tuntutan publik yang menguat dalam kasus pemecatan Novel dan kawan kawan.

“Jadi ini sebetulnya ini sudah tidak ada manfaatnya. Kecuali Novel cs. ini ya dia membutuhkan sumber penghasilan, untuk membiayai keluarga anak istri segala macem,” ucap dia.

Pengorbanan Para Eks Pegawai KPK

Dengan menerima tawaran Kapolri itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman memperkirakan para mantan pegawai KPK tersebut bakal diserang sejumlah tudingan, misalnya sebutan pencari kerja.

“Mereka barangkali juga tetap membesarkan hati meskipun ada cemoohan dari pihak-pihak tertentu bahwa mereka pencari kerja padahal mereka bukan pencari kerja, saya tahu itu,” katanya.

Padahal, lanjut Boyamin, mereka sudah berkorban banyak dengan menerima tawaran tersebut. Di antaranyam berbesar hati menerima tugas di luar keahlian mereka di bidang penindakan serta nominal gaji.

“Mereka biasa di KPK di bidang penindakan sekarang pencegahan, mungkin juga dari salary atau gaji pasti ada hal berbeda,” katanya.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Bandung, Kunto Adi Wibowo tak mempermasalahkan indikasi strategi politik di balik tawaran Kapolri kepada Novel dkk. itu

Namun, kata dia, keputusan tersebut haru memperlihatkan hasil berupa kerja pemberantasan korupsi, bukan malah menjadi antiklimaks kinerja kepolisian.

“Ini sah-sah saja dilakukan sebagai strategi politik. Problemnya, harus jelas ada hasil kinerja dan jangan sampai ini jadi antiklimaks lagi misalnya pembatasan wewenang, bahkan korupsi tidak segera ada kasus,” katanya.

Sumber: CNNIndonesia.com