WAKATOBI, suryametro.id – Kuasa Hukum Manager PT Buton Karya Konstruksi (BKK) resmi mengajukan permohonan Praperadilan, atas tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh Satuan Reskrim Polres Wakatobi.
Permohonan Praperadilan ini terdaftar pada Pengadilan Negeri Wangi-Wangi, dengan Register Perkara No.2/Pid.Pra/2021/PN.Wgw Tanggal 28 Mei 2021.
Ketua Tim Kuasa Hukum, Dedi Ferianto mengatakan, pada prinsipnya upaya hukum Praperadilan ini adalah bagian dari hak hukum, untuk menguji keabsahan tindakan penyidik dalam melakukan upaya paksa. Sebagaimana ketentuan yang berlaku bahwa Praperadilan adalah pranata hukum yang bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal terhadap tindakan sewenang-wenang (ilegal) aparatur negara.
Ada tujuh point tindakan upaya paksa pihak termohon yang menjadi pokok keberatan, salah satunya adalah mengenai penetapan kliennya sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana Pertambangan Tanpa Izin, berdasarkan Pasal 158 Jo. 35 UU No.3 Tahun 2020 berdasarkan Surat Ketetapan Tersangka No. S.Tap/24/IV/2021/Reskrim Res tanggal 05 April 2021.
“Menurut kami seluruh rangkaian tindakan termohon, dalam melakukan tindakan hukum penanganan perkara klien kami adalah cacat prosedur bertentangan dengan KUHAP, dan Perkapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana sehingga harus dikoreksi atau dibatalkan,” ucapnya.
“Mulai dari Pemasangan Police Line, Penyitaan, Penyidikan, Penetapan Tersangka menurut kami dilakukan tidak berdasar hukum. Hal ini kami sudah uraikan dalam permohonan dan akan kita buktikan saat persidangan dimulai nanti,” sambungnya.
Berkaitan dengan unsur pasal sangkaan, ini anomali memang. Kliennya disangkakan melakukan penambangan ilegal, namun faktanya kliennya melakukan pengambilan material galian C berdasarkan perjanjian jual beli dan izin dgn pemilik lahan.
Selain itu, terhadap pengambilan galian C tersebut juga selama ini kliennya membayar retribusi dan pajak kepada pemerintah daerah (Pemda). Artinya bahwa penambangan galian C yang menurut penyidik adalah ilegal, justru selama ini dipungut retribusi dan pajak oleh Pemda berdasarkan Perda dan Perbub. Sehingga berdasakan hal tersebut, dapat dimaknai secara yuridis tindakan kliennya tersebut telah mendapat izin dari Pemerintah.
Dilain sisi, pengambilan material galian C yang dilakukan kliennya semata-mata untuk kepentingan publik, dalam hal ini pembangunan jalan pemerintah. Sangat riskan tindakan yang demikian dianggap sebagai kejahatan pertambangan.
Kemudian jika penyidik merujuk pada UU Minerba 3/2020 ini masih perlu diperdebatkan. Karena UU Minerba No. 3/2020 itu belum ada peraturan pelaksananya, dan saat ini masih dilakukan moratorium penerbitan izin tambang sehingga siapapun yang mengurus izin pertambangan belum akan diterbitkan.
Masih berdasarkan UU Minerba, syarat pembuatan IPR (Izin Pertambangan Rakyat) itu minimal dengan luasan 5 Ha. Bagaimana mungkin masyarakat Wakatobi yang hanya memiliki lahan 10 x 10 M² dipaksa harus membuat izin tambang di pemerintah pusat, mengurus amdal dan lainnya. Tentu akan ditolak karena tidak memenuhi syarat.
“Saya khawatir jangan sampai ke depan masyarakat, yang mengambil timbunan untuk pembangunan rumah dapat dipidana dengan sangkaan melakukan penambangan ilegal,” kata Dedi.
Akhirnya akibat dari tindakan termohon kini telah berdampak luas, selain menghambat kinerja pemohon, yakni pembangunan rekonstruksi jalan juga telah terjadi stagnasi pembangunan pemerintah daerah (kepentingan publik), khususnya pekerjaan pemerintah yang menggunakan material galian C di Kabupaten Wakatobi harus terhenti. Pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat.
“Kami tetap menghormati hukum, upaya hukum ini adalah salah satu bentuk penghormatan kami terhadap hukum. Terakhir kami berharap, majelis hakim dapat memberikan pertimbangan dan putusan hukum yang seadil-adilnya,” pungkasnya.
(adm)