Berpacaran seharusnya menjadi masa-masa indah dalam hidup seseorang. Namun, hal itu bisa menjadi mimpi buruk, bahkan bisa menjadi petaka bila romantisme pacaran berubah menjadi hubungan yang beracun
Oleh SONYA HELLEN SINOMBOR
“Jatuh cinta berjuta rasanya. Biar siang, biar malam, terbayang wajahnya.Jatuh cinta berjuta indahnya. Biar hitam, biar putih, manislah nampaknya.”
Jatuh cinta dalam berpacaran seperti petikan lirik lagu “Jatuh Cinta” ciptaan Titiek Puspa seharusnya momen kenangan yang tak terlupakan bagi dua anak manusia. Sayang, dalam realita keseharian masa berpacaran sejumlah pasangan mengalami hubungan yang tidak sehat. Ada pihak tersakiti, sehingga hubungan berubah menjadi racun atau toksik.
Sebenarnya relasi seperti ini terjadi sejak jaman baheula. Namun, hal ini masih dianggap tabu dibicarakan, kecuali dalam ruang-ruang berbagi cerita (sharing) di komunitas atau psikolog. Namun relasi yang tidak sehat tersebut, yang kini dikenal dengan istilah toxic relationship hadir di ruang-diskusi publik.
Seperti apa sebenarnya toxic relationship? Secara umum toxic relationship dianggap sebagai situasi suatu hubungan personal dua insan yang awalnya dimulai dengan berlandaskan cinta, tetapi kemudian membawa energi negatif bagi pasangan yang berhubungan.
Norma maskulinitas tradisional dan sempit yang membentuk kehidupan laki-laki yang merujuk pada kekuatan, superioritas, dominasi, agresifitas, dan penaklukan.
Hubungan yang bersifat racun atau toksik ini, bagi sejumlah pasangan biasanya melibatkan rasa dan situasi yang melelahkan. Gara-gara toksik dalam pacaran, hubungan yang seharusnya menghadirkan rasa bahagia dan romatisme yang mendorong hubungan yang lebih produktif, bisa berubah menjadi mimpi buruk bagi pasangan yang berpacaran.
Hubungan ini menguras tenaga dalam bentuk mental, emosi, dan psikis. Karena yang tercipta bukan hubungan setara dan saling menghargai, tapi justru relasi kuasa dari salah satu pihak.
Jika dibiarkan berlarut-larut, hubungan beracun ini bisa berimplikasi luas bagi salah satu dari pihak, terutama perempuan, meski ada juga laki-laki. Bahkan akan sangat membahayakan bagi perempuan, bahkan bisa berujung pada tindakan fisik, psikis, terutama kekerasan seksual.
Sebenarnya, ciri-ciri pasangan yang bisa menghadirkan hubungan beracun sudah terlihat dari hal-hal sepele. Namun, beberapa orang tidak menyadari jika fase awal dari hubungan beracun. Bahkan ada yang menganggap hal itu sebagai bentuk perhatian dari pasangannya, kendati hal tersebut mulai mengganggu kenyamanannya, bahkan membuat dia mulai tersiksa.
“Pacar saya kenapa ya kak, makin ke sini kayaknya makin posesif. Apapun yang saya lakukan harus lapor ke dia. Aku kemana, pergi dengan siapa, bikin apa, pulang jam berapa, harus dia tahu. Kalau telat angkat telepon atau balas pesannya, langsung marah-marah, bahkan pernah sampai menuduh aku yang enggak-enggak?” ujar Ari (25) karyawan perusahaan di Jakarta, dalam sebuah percakapan dengan Kompas, belum lama ini.
Ari sesungguhnya tidak nyaman dan merasa pacarnya terlalu jauh mengontrol kehidupan pribadinya. Namun dia tidak berani memutuskan hubungan dengan pacarnya tersebut. Alasannya, mereka sudah cukup lama berpacaran serta kedua orangtua merestui dan mendorong hubungan mereka berlanjut ke jenjang perkawinan.
Kampanye anti kekerasan terhadap ibu dan anak terus disuarakan masyarakat, salah satunya melalui media mural seperti terlihat di kawasan Gandaria, Jakarta, Selasa (5/3/2019). Berdasarkan data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan 2017, kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Ada 5.167 kasus kekerasan terhadap istri, kekerasan pacaran (1.873 kasus), kekerasan pada anak perempuan (2.227 kasus). Sementara itu, Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2017 tercatat 2.373 pengaduan kekerasan pada anak yang sebagian besar kejahatan seksual.Cemburu pada pasangan yang dicintai itu biasa. Bahkan, banyak orang bilang “cemburu itu tandanya cinta”. Tapi jika rasa cemburu tersebut sudah pada tingkat ekstrem, dan berujung pada perlakuan buruk, itu bukan hanya racun dalam berpacaran, tapi juga bentuk kekerasan dalam berpacaran (KDP).
Stop relasi tak sehat
Karena itulah agar tidak ada yang menjadi korban (terutama perempuan), kini stop racun dalam hubungan dalam berpacaran pun menjadi bagian dari kampanye stop kekerasan seksual terhadap perempuan. Situs media daring yang mengusung isu perempuan dan minoritas, konde.co.id, saat memperingati Hari Kartini 2021, akhir April 2021 menggelar unjuk bincang yang mengusung tema “Pacaran Toxic? No Way”.
Bagaimana cara toxic relationship, lalu ketika tahu dan menyadari terjebak dalam relasi tidak sehat tersebut, bagaimana cara menolong diri sendiri agar bisa keluar dari situasi tersebut, menjadi pertanyaan yang mengemuka dalam acara tersebut.
Danika Nurkalista, psikolog dari Yayasan Pulih mengungkapkan KDP dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti minimnya pengetahuan individu, komunitas, maupun masyarakat tentang sebuah hubungan yang tidak sehat.
Lalu, pertanyaannya apa yang harus dilakukan jika seseorang mengalami KDP? Yang pertama, seseorang harus menyadari dan mengakui bahwa dirinya mengalami KDP. Ini adalah tahap yang terpenting. “Karena tidak semuanya menyadari bahwa mereka berada dalam hubungan berkekerasan,” kata Danika.
Dengan menyadari hubungannya bermasalah, seseorang akan belajar dan berusaha mencari jalan keluar. Selain itu. harus ada keyakinan dirinya tidak bersalah, agar jangan sampai rasa bersalah tersebut justru menghambatnya mencari bantuan, karena di masyarakat KDP masih tabu dibicarakan.
“Ceritakan masalahmu kepada orang yang bisa dipercaya yang punya perspektif untuk menerima apa yang diceritakan. Lalu, cari bantuan profesional seperti konselor dan psikolog,” ujar Danika dalam unjuk bincang yang dipandu Tika Adriana (managing editor Konde.co), yang juga dihadiri Rere Agistya (Sanggar Swara) dan Nur Hasyim (Aliansi Laki-Laki Baru).
Nur Hasyim mengungkapkan KDP menjadi perhatian karena merupakan kekerasan kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan laki-laki merupakan kelompok yang paling berisiko terlibat dalam hubungan beracun. Kondisi tersebut terlihat dalam laporan Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta laporan yang diterima Rifka Annisa Yogyakarta, dan lembaga lain.
Mengapa laki paling berisiko menjadi pelaku dalam pacaran? Nur Hasyim menegaskan hal itu terkait erat dengan maskulinitas beracun/maskulitas hegemonik, atau maskulinitas patriaki, yakni norma maskulinitas tradisional dan sempit yang membentuk kehidupan laki-laki yang merujuk pada kekuatan, superioritas, dominasi, agresifitas, dan penaklukan.
“Karena sudah jadi norma, maka laki-laki menyakini bahwa menjadi laki-laki harus seperti itu,” ujar Nur.
Hubungan yang beracun ini seharusnya dihentikan. Selain berbahaya, hubungan seperti itu sesungguhnya akan menyandera laki-laki, karena hidupnya dibatasi, yakni jika tidak superior akan dianggap tidak laki-laki.
Maka, untuk mencegah hubungan beracun, laki-laki seharusnya tidak memandang dirinya lebih tinggi dari perempuan, dan menempatkan prinsip penghormatan, kesetaraan, dan keadilan dalam berpacaran.
Sumber : kompas.id