
MALAM itu, pukul 18.49 WIB, pesan whatsapp dari Bu Melani (Mey) Koordinator Posko Berbagi Baubau Sulawesi Tenggara (Sultra). Isinya tentang kabar adik Kenzi Albiasyah (14 bulan) baru saja menghembuskan napas terakhirnya di IGD RSUD Kota Baubau.
Melalui sambugan video call bersama Ibu Mey, terlihat tampak adik Kenzi terbaring tenang ditemani ayah dan ibunya serta beberapa para medis. Kesedihan menyeruak di ruangan itu.
Saya gemetar memegang telepon. “Innalillahi wainna ilaihi rajiuun. Yang sabar Bu Mey juga ayah dan ibu Kenzi. Kita sudah berusaha tapi Allah lebih sayang adik Kenzi,” dengan nada pelan pesan itu ku sampaikan dengan perasaan sesak didada. Selepas video call, saya terdiam lama. Lalu membacakan doa bagi adik Kenzi. Air mata saya menetes. Kenzi meninggal dengan diagnosa gizi buruk, pneumonia dan vomitus.
Oleh: Erwin Usman
SEJAK hari Minggu (19/12/2021) Posko Berbagi Baubau menerima informasi dari keluarga tentang bayi laki-laki Kenzi yang tinggal di RT 002 Kelurahan Saragi, Kecamatan Pasarwajo, Kabupatren Buton, Sulawesi Tenggara. Sakitnya gizi buruk dan sesak napas.
Keluarga butuh bantuan untuk akses ke fasiltas kesehatan. Ayah Kenzi seorang buruh bangunan dan Ibunya bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga. Kenzi anak bungsu dari tiga bersaudara dan Kenzi satu-satunya anak laki-laki.
Tim Posko Berbagipun mengunjungi rumah orang tua Kenzi pada hari Senin (20/12/2021) dan berencana akan jemput untuk rawat di Kota Baubau pada keesokan harinya.
Hari Rabu (22/12/2021) sekira jam 10.00 WITA, Bu Mei bersama seorang rekan dokter menuju Pasarwajo. Sekitar 1,5 jam perjalanan dari kota Baubau.
Setelah dicek bersama dokter dan musyawarah bersama keluarga, diputuskan adik Kenzi dibawa ke Kota Baubau untuk dirawat di RSUD Baubau. Orang tuanya ikut serta. Sekira pukul 15.00 WITA, rombongan tiba di Posko Berbagi Baubau di Kelurahan Wajo, kondisi Kenzi saat itu memburuk karena demam dan sesak napas. Lalu diputuskan dibawa ke IGD RSUD Baubau.
Mulai pukul 15.30 WITA, Kenzi dirawat di IGD. Kondisinya memburuk. Saturasinya terus menurun sampai diangka 73. Setelah diberi oksigen, saturasinya sedikit membaik, naik diangka 90. Tapi kondisinya masih sangat kritis. Dan tepat pukul 19.48 WITA, adik Kenzi berhenti bernapas. Al Fatihah, kenzi akhirnya meninggalkan kedua orang tercitanya untuk selama-lamanya.
Kasus gizi buruk disertai penyakit penyerta, semestinya sesuai Permenkes nomor 29 tahun 2019 serta sejumlah juknis terkait, bisa dilakukan penanganan awal untuk preventif promotif di puskemas (PKM) terdekat. Disini ada Posyandu untuk imunisasi dan tatalaksana pemantauan gizi bagi anak bayi dan ibu hamil. Bila kondisi memburuk, segera dirujuk ke RSUD dan diambil tindakan medis.
Fungsi dinas kesehatan (dinkes) dan Pemerintah Daerah sangat penting disini untuk monitoring dan evaluasi, juga memberi panduan dan pembinaan pada ibu pasien tentang bagaimana perbaikan gizinya. Sebab rata-rata, penyakit gizi buruk kerap menimpa keluarga miskin dan tak mampu.
Dalam kasus Kenzi ini, penting dilihat lagi apa peran Dinas Kesehatan ataupun Puskesmas dan langkah-langkah yang sudah dilakukan. Untuk Pemda Buton, sudah adakah regulasi yang menyediakan mekanisme penanganan bayi gizi buruk?
Lalu, bagaimana agar kasus seperti ini tidak terulang lagi ke depan? Bukankah gizi buruk atau stunting, berulang kali menjadi seruan dan perhatian serius Presiden agar para kepala daerah bisa segera menyiapkan perangkat aturan, alokasi dana dan SDM untuk penatalaksanaannya?
Di kabupaten Buton, sudah sejauh mana itu dilakukan? DPRD-nya apa kabar? Bagaimana peran Pemprov Sultra memonitoring dan evaluasi kasus seperti ini?
Saya berharap, Gubernur Sultra Ali Mazi yang juga berasal dari Pasarwajo, Kabupaten Buton dan Bupati Buton La Bakry, dapat memeriksa serius kasus ini.
Satu hal yang patut dicatat, cukup Kenzi, jangan terulang lagi.