“Keadilan itu, memang mahal dan panjang,” tutur seorang santri. Dia menggambarkan, betapa mahal dan panjang proses yang ditempuh oleh keluarga Randi-Yusuf untuk mendapatkan keadilan. Hasilnya pun, sebuah kekecewaan panjang nan melelahkan.
Penulis: Wahyu Pratama – Ketua DPM FKIP UHO 2020-2021
Kyai Engko mafhum arah pembicaraan santrinya. Santri itu hanya memunculkan sebuah problema kasus, yang nyaris tak terpecahkan. Tapi, juga sebuah fenomena umum. Isu dan problema itu, kembali menjadi aktual karena menemukan momentumnya. Seperti mengenang tragedi 26 September atau kawan-kawan mahasiswa menyebutnya September Berdarah “Mengenang Tragedi Randi-Yusuf”.
Para aktivis mahasiswa dan penggiat Hak Asasi Manusia (HAM), kembali menyalakan lilin keadilan dengan meminta pihak kepolisian untuk menemukan aktor dibalik tewasnya Yusuf-Randi. Tingginya atensi publik, dapat diartikan bahwa tersangka tewasnya Randi-Yusuf hanyalah aktor lapangan yang menjalankan perintah, pihak kepolisian diduga melindungi aktor-aktor yang berperan atas terjadinya perisitiwa 26 September itu.
Para santri memahami, kasus Randi-Yusuf merupakan fenomena bias dari sebuah penegakan hukum yang tidak adil ketika melibatkan aktor-aktor penegak hukum didalamnya, semacam ada perlindungan, kalaupun ada yang terhukum maka itu hanyalah petugas bawahan tetapi tidak akan menyentuh level menengah keatas. Sehingga, untuk memperoleh keadilan yang seadil-adilnya menjadi mahal dan panjang.
“Yang Maha Adil, memang hanya Allah SWT,” ujar Kyai Engko. Karena itu pula, hanya seseorang yang sadar jati diri dan subtansi keberadaan Allah, yang takut berbuat zalim. Zalim adalah lawan kata dari adil. “Tapi Kyai, banyak orang melakukan ketidakadilan bukan tanpa kesadaran. Justru ada kesengajaan karena “keadilan” itu bisa dijadikan tawar-menawar,” ujar santri lainnya.
Kyai Engko cuma tersenyum. Dia membayangkan, betapa sulitnya berbuat adil, apalagi terhadap diri sendiri. Dia membayangkan bagaimana Allah, Sayidina Nabi dan para ulama seringkali menggambarkan, seseorang yang berbuat adil itu sebenarnya untuk dirinya sendiri.
“Tak ada seorang pun bisa adil kepada orang lain, jika belum mampu adil pada dirinya sendiri,” gumamnya.
Kyai Engko mengemukakan bagaimana Allah SWT menggunakan istilah zalama nafsah, zalim pada diri sendiri, bagi orang-orang yang kehilangan kontak dengan kesadaran dirinya dan TuhanNya.
Kyai Engko menghisap rokoknya dalam-dalam, pikirannya kembali berkelindan memunculkan kembali fenomena minor tentang sulitnya masyarakat mencari sebuah keadilan di Negeri ini, apalagi telah melibatkan aktor aparat hukum. Sulit, sangat sulit.
“Semakin diupayakan untuk dibantah, baunya kian menggulung di permukaan,” sahut salah seorang santri.
Bagi Kyai Engko, persoalan keadilan memang bukan semata bantah-membantah sebuah fenomena. Fenomena itu seperti seperti “kentut”, tidak kasat mata, tapi baunya dapat dicium semua orang. Fenomena itu, menggambarkan betapa keadilan itu telah menjadi sesuatu yang absurd.
“Sebab, letaknya memang tak semata-mata di meja kepolisian dan ditangan para penyidik, tetapi lebih terletak pada nurani seseorang,” bilang Kyai Engko.
Karena itu, subtansi hukumnya bukan semata-mata terletak pada bentuk harfiah berita acara pemeriksaannya, tetapi lebih kepada perasaan penerima keputusan itu. Bagaimana hancurnya perasaan orang tua Randi-Yusuf, ketika mimpi-mimpi besar mereka dikubur dengan sebutir peluru dan mungkin juga pentungan ikut meregangkan nyawa mereka.
Kyai Engko menggambarkan, di zaman Khulafaur-Rasyidin, sebuah keputusan bisa berubah seratus delapanpuluh derajat, karena keterlibatan perasaan para penuntut keadilan. Aunur Rofiq (Detiknews,2021) menukil riwayat Sya’bi, bahwa ketika Ali Bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah pernah kehilangan baju besinya. Ternyata baju tersebut berada di tangan seseorang beragama nasrani. Ali melaporkan kepada hakim yang bernama Syuraih, menuntut agar baju tersebut dikembalikan padanya.
Dalam sidang pengadilan Sayidina Ali berkata, “Baju besi ini kepunyaanku, tidak kujual dan tidak kuberikan kepada siapapun. Hakim berkata, “apa jawabanmu terhadap tuduhan Amirul Mukminin ini..?”, jawab nasrani, “Baju besi ini kepunyaanku. Namun demikian bukan berarti aku menuduh Amirul Mukminin berdusta. “Maka hakim bertanya pada Sayidina Ali, ” Ya Amirul Mukminin, adakah engkau mempunyai bukti..?”, Sayidina Ali tersenyum dan meyatakan tepat apa yang dilakukan Hakim Syuraiah. Sayidina Ali mengatakan bahwa dirinya tidak mempunyai kepemilikan baju besi tersebut.
Lalu Hakim memutuskan bahwa baju besi tersebut milik nasrani. Lalu diambilnya baju tersebut sambil melangkah berucap, “aku mengakui bahwa ini adalah putusan para nabi. Amirul Mukminin mengadukanku pada hakim, lalu dipertimbangkan dan memenangkanku. Kemudian nasrani tadi masuk islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
“Demi Allah, baju besi ini benar kepunyaanmu, wahai amirul mukminin. Baju itu terjatuh ketika engkau dalam perjalanan menuju Shifin,” ujar Nasrani. “Karena engkau telah memeluk Islam, maka baju besi ini kuberikan kepadamu,” ucap Sayidina Ali.
Dari riwayat tersebut, bahwa sikap Sayidina Ali sebagai Kepala Negara dan Hakim Syuraiah menunjukan persamaan kedudukan hukum baik seorang Kepala Negara maupun masyarakat biasa. Sayidina Ali tidak ingin menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mempengaruhi hakim dalam memutus perkaranya.
Kisah tadi, memang menggambarkan betapa peliknya keadilan dan peradilan itu, jika semuanya berpijak pada konflik kepentingan untuk menyelamatkan aktor-aktor tertentu, sehingga tidak tersentuh hukum sedikitpun. Tetapi, sebagai manusia kita hanya meminjam jabatan dan urusan duniawi lainnya, bumi ini adalah persinggahan, dan suatu saat nanti kita akan kembali kehadapan Allah SWT dengan tangan kosong.
Isinya adalah amalan baik dan buruk termasuk keadilan buat Randi-Yusuf. Kita boleh saja mengatakan atau diam sekalipun, tetapi suatu saat Allah SWT akan menanyakan bagaimana keadilan berlaku bagi Randi-Yusuf.
Kyai Engko sejenak terdiam, terlihat menyeka matanya yang berkaca-kaca. “Sehingga, terdapat peluang demikian longgar untuk menghadirkan penafsiran-penafsiran dan kepentingan-kepentingan subyektif,” tutur Kyai Engko.
Para santri mencoba memahami, bagaimana rumitnya kasus Randi-Yusuf sebagaimana kasus Munir karena melibatkan institusi, kalaupun ada yang dinyatakan bersalah, maka itu hanyalah aktor pemain lapangan, bukan aktor yang sesungguhnya. Sebab, seringkali kaidah-kaidah normatif tak mampu menembus tabir keadilan sampai pada aktor kunci, hanya berputar-putar disekitar permukaan saja untuk menunjukan kepada khalayak bahwa institusi hukum telah bekerja.
“Dilihat dari teori, proses keadilan yang mahal dan panjang, tak ada masalah bila targetnya untuk menemukan aktor kunci dari sebuah kasus dan menegakan keadilan,” kilah santri hukum.
Repotnya, ketika proses panjang dan mahal itu, justru semakin mengembangkan peluang penafsiran-penafsiran dan kepentingan-kepentingan, sehingga rasa keadilan itu kadangkala semakin bias.
“Ya, momentum Randi-Yusuf seharusnya ditangkap sebagai alarm bahwa pada diri setiap orang itu pasti ada unsur nafsu. Yang bisa menjadi kendali bukan otak, tetapi hati nurani. Kalau seseorang tak memiliki hati nurani yang bersih dan peka, keadilan itu hanya di otak dan kata-kata,” ujar Kyai Engko.
Itu sebabnya, keadilan itu seringkali hanya terasa seperti sederetan kata-kata yang kehilangan makna.
Proficiat!
Kampus Kuning UHO untuk sahabatku Randi-Yusuf