JAKARTA, suryametro.id – Syarat naik pesawat di Jawa-Bali harus melampirkan hasil negatif tes PCR menuai kritik. Ekonom menilai kebijakan tersebut memberi peluang sebagai ajang bisnis.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan kewajiban PCR memberatkan masyarakat di saat ekonomi belum pulih. Dia menuturkan, tes PCR seolah-olah diskriminatif karena hanya berlaku bagi moda transportasi pesawat.
“Pandemi sudah menjadi ajang bisnis. Sasarannya, mereka yang dianggap mampu bayar yaitu penumpang pesawat. Padahal tidak semua dari mereka itu mampu,” kata Anthony saat dihubungi detikcom, Senin (25/10/2021).
“Sedangkan masyarakat dijadikan komoditas bisnis di masa pandemi, kewajiban ini memberatkan dan menambah beban masyarakat, di tengah ekonomi yang masih belum pulih. Ini termasuk kejahatan terhadap rakyat di tengah musibah, difasilitasi oleh kebijakan pemerintah karena kebijakan wajib tes PCR berlaku diskriminatif hanya untuk penumpang udara, tidak untuk moda transportasi lainnya,” sambungnya.
Dia menambahkan, kebijakan PCR memiliki celah keuntungan yang cukup besar. Apalagi saat harga PCR masih tinggi di awal pandemi COVID-19.
“Beberapa perusahaan meraup kenaikan keuntungan ratusan sampai ribuan persen di masa pandemi ini, salah satunya memberi layanan test PCR yang awalnya harganya mencapai hampir 10 kali lipat dari harga luar negeri,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menyoroti harga PCR yang masih tinggi. Menurutnya, harga PCR seharusnya dapat ditekan hingga Rp 250 ribu.
“Kritik saya adalah lebih kepada mahalnya PCR. Pemerintah sudah menetapkan harga PCR sebesar Rp 450 ribu itu pun sebenarnya masih terlalu mahal dibandingkan di luar negeri. Tapi kebijakan pemerintah ini tidak sepenuhnya dilaksanakan di lapangan. PCR masih tetap mahal,” kata Piter.
Selain itu, ia juga meminta agar pemerintah serius dalam menindaklanjuti tudingan mafia tes PCR. Piter mengatakan, pemerintah seharusnya dapat mengungkap secara transparan sosok dibalik bisnis PCR.
“Pemerintah hendaknya menindaklanjuti secara serius tudingan mafia test PCR ini. Termasuk mengungkap secara transparan siapa sebenarnya para pemain di bisnis ini. Berapa harga pokok dari test PCR. Kenapa di luar negeri bisa murah sementara di Indonesia begitu Mahal. Berapa keuntungan yang sudah mereka dapatkan dengan berbisnis test PCR selama hampir dua tahun ini,” tuturnya.
Namun secara pribadi, dia setuju dengan syarat PCR untuk pesawat ini karena diyakini masih sebagai salah satu cara penanggulangan pandemi COVID-19.
“Kewajiban PCR itu mengurangi risiko penularan memberi keyakinan bahwa yang naik pesawat adalah mereka yang benar-benar sehat. Kita harus ingat bahwa pandemi belum berakhir. Masih ada potensi terjadinya gelombang ketiga. Kita tidak ingin itu terjadi,” pungkasnya.
Sumber: detik.com