OPINI – Cerdas Berjamaah Dalam Pemilu

398 views
Yulis, Pegiat Komunitas Kepton

Awal tahun berita di mana-mana tentang pemilu, tapi bagaimana tingkat kepedulian masyarakat terutama dengan komunitas yang sudah tidak mau mendengar dunia politik. Yang sudah kecewa dengan politik? Yang sudah tidak percaya dengan pemerintah? Yang sudah tidak memiliki harapan dengan bangsa dan negara?

Oleh: Yulis – Pegiat Komunitas Kepton

Hampir semua isi berita baik nasional maupun lokal, isi media sosial membahas tentang pemilu 2024 bahkan sudah dimulai sejak tahun 2022 lalu. Tapi bagaimana membuat semua masyarakat untuk terlibat dalam kontes pemilu 2024 nanti.

Sebagai seorang yang sibuk berkecimpung di dunia komunitas, ternyata tidak sedikit baik di kota baubau ataupun buton tengah apatis dengan pembahasan politik. Agak berbeda dengan pemuda pemudi yang memang masa kuliahnya aktif di organisasi internal maupun eksternal, mereka sudah terbiasa membahas tentang politik.

Lain halnya dengan pemuda pemudi yang tidak besar dari aktifis organisasi, tapi aktifis sosial, lingkungan, Pendidikan dan lain-lain. Mereka agak menghindar jika ditanya pendapat mereka tentang politik.

Pemahaman ini bukan hanya pengalaman dari pemilu sebelumnya, namun hingga sekarang masih menjalar keseluruh penjuru. Sehingga anggapan politik itu kotor itu sudah mendarah daging hingga kepelosok negeri. Hal inilah yang mengakibatkan kepedulian dan juga pemikiran kritis terhadap politik menjadi jauh. Jumlah mereka yang berfikir seperti ini juga bukan hanya 1-2 orang, tapi banyak.

Mereka sebenarnya hanya mengekpresikan apa yang mereka rasakan dari kehidupan mereka sehari-hari, apa yang mereka lihat atau pengalaman mereka melihat pemimpinnya. Respon negatif ini tidak mengenal usia, mau yang tua juga kaum muda. Berdasarkan ketidaktahuan mereka dan lingkungan mereka yang pemahamannya juga keliru membuat mereka makin membenci dengan politik dan menghindari politik yang membuat mereka semakin tumpul dalam pemikiran.
Ketidakpahaman ini juga membuat mereka bisa golput atau tetap memilihi namun gampang dimanfaatkan oleh orang lain.

Padahal menurut Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman, yang juga dramawan, sutradara teater, dan marxis pernah mengatakan:

Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.

Orang yang buta bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri.”

Namun, apakah orang awam ini adalah orang yang tidak berpendidikan? Tidak juga. Mungkin ada yang tidak, atau kelompok marjinal, tapi tidak sedikit juga yang berpendidikan sarjana, para karyawan-karyawan swasta dan lain-lain. Namun ketika berbicara tentang politik, bagaimana respon orang awam? Politik itu kotor. Mereka menganggap agak sulit menemukan pemimpin yang jujur dan juga peduli terhadap masyarakat kecil. Siapapun pemimpinnya hidup mereka tetap begitu saja. Bahkan jika ada yang berbuat baik dari orang partai politik misalnya, orang-orang yang sensitif dengan cekatan berfikir “oh pasti ada maunya, tidak ada yang gratis”.

Pemikiran ini ada sejak dahulu kala, bukan saja untuk menghadapi pesta demokrasi 2024 mendatang. Tantangan kita dalam negara demokrasi memang salah satunya adalah kepercayaan masyarakat. Sebagai pemudi yang aktif di komunitas, beranggapan pemahaman ini sangat perlu dimiliki para pemuda yang hidup di dunia komunitas dimana usia-usia yang dimiliki oleh pelaku komunitas adalah 17-40 tahun yang merupakan pemuda generasi milenial dan generasi Z dan tentu mereka sangat berperan penting di pesta demokrasi mendatang.

Berdasarkan data BPS tahun 2021, ada sebanyak 64,92 juta jiwa penduduk yang berusia 16-30 tahun. Proyeksi pemilih pemuda pada 2024 nanti sekitar 53,6% dimana angka ini lebih besar dari tahun 2019 lalu yaitu 30-40%.

Berdasarkan data tersebut akan diprediksi bahwa peran generasi milenial dan generasi Z akan mendapat proporsi besar dalam pemilu 2024 mendatang. Selain itu juga, data KPU menunjukan pemilu 2019 menunjukan pemilih muda mencapai 70-80 juta jiwa dari 193 juta pemilih atau sebesar 35-40%. Dan pada 2024 ini diprediksi jumlah pemilih muda akan meningkat.

Namun, bagaimana proporsi pemilih yang memiliki pengetahuan cukup dengan proses demokrasi dibanding dengan yang sekedar ikut-ikutan, atau apatis? Bagaimana menyikapi dan memberikan pengetahuan kepada mereka agar mereka mau sama-sama mengawal dan berpartisipasi berperan dalam pemilu 2024 agar demokrasi yang jujur dan adil dapat tercapai?

Meski hal ini merupakan bagian dari proses demokrasi namun, pembiaran cara berfikir mereka adalah juga hal yang keliru. Dibutuhkan strategi dan cara lebih efektif agar semua masyarakat mengikuti pesta demokrasi dengan cerdas berjamaah.