Manusia sebagai makhluk sosial saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya di kehidupan sosialnya, dimana hal ini bertujuan untuk menjalin suatu hubungan diantara mereka. Interaksi sosial yang mampu berjalan dengan baik tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing individu itu sendiri, seperti hubungan pertemanan, percintaan, bisnis dan kepentingan-kepentingan lainnya. Dalam mencapai tujuannya tersebut, masing-masing individu biasanya memainkan suatu peranan yang tak jarang juga berseberangan dengan karakter asli yang dimilikinya. Hal tersebut bertujuan untuk menggiring persepsi lawan bicaranya sesuai dengan yang di inginkan, melalui settingan peristiwa yang didasarkan oleh ucapan maupun tindakan yang direkayasa.
Kajian Teori Dramaturgi
Peran individu dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut, apabila ditinjau dari sudut pandang Ilmu Sosiologi dipertegas oleh Teori Dramaturgi yang di kemukakan oleh Erving Goffman, dimana Dramaturgi berkaitan dengan konsep bermain peran yang ada pada pertunjukan drama atau teater. Sehingga dalam hal ini seorang aktor bertugas untuk menyampaikan pesan kepada penonton dengan tujuan agar mendapatkan kesan yang sesuai dengan harapan aktor tersebut. Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya (Mulyana, 2008:107).
Goffman (dalam Ritzer, 2012:640-641) menyebut dramaturgi terdiri dari front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Front stage yaitu bagian lain dari individu yang sedang memainkan peran atau diibaratkan sebagai aktor dalam panggung drama/teater, sedangkan back stage adalah kenyatan sesuai dengan siapa individu itu sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari dan terlepas dari permainan peran yang ia bawakan pada ranah front stage.
Dinamika Permainan Peran antara Klien Pemasyarakatan dengan Pembimbing Kemasyarakatan
Konsep bermain peran dalam Dramaturgi tak jarang juga ditemukan pada Klien Pemasyarakatan yang menjadi tanggung jawab dari Pembimbing Kemasyarakatan (PK) di Balai Pemasyarakatan (Bapas). Dimana hal ini biasanya diketahui melalui proses penjajakan dari pembuatan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas), pelaksanaan pendampingan, pembimbingan, pengawasan, dan Sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan). Karena dalam kegiatan tersebut PK menggali informasi terkait kehidupan pribadi dan kehidupan sosial klien pemasyarakatan melalui wawancara yang mendalam kepada klien pemasyarakatan itu sendiri, penjamin atau wali, pihak korban tindak pidana beserta keluarganya, tokoh masyarakat dan masyarakat sekitar. Selain itu PK juga melakukan observasi guna memperkuat pemahaman atas permasalahan, kebutuhan dan karakteristik dari klien pemasyarakatan itu sendiri serta mencari solusi dari itu semua.
Namun ada sesuatu yang cukup menarik disini, berdasarkan fakta dilapangan, ketika PK melaksanakan tugasnya secara tatap muka maupun virtual dengan klien pemasyarakatan, semua klien pemasyarakatan menujukkan sikap yang patuh, perilaku yang baik, menggunakan bahasa yang sopan dan berpenampilan cukup rapi, dimana dalam hal ini mereka memerankan perannya sebagai individu yang bisa dikatakan jauh dari label “seorang pelanggar hukum atau seorang kriminal” yang bertujuan menunjukkan kesan pertama sebagai individu yang baik pada saat berinteraksi dengan PK.
Hal ini terkadang cukup berbeda ketika PK melaksanakan wawancara yang mendalam, observasi dan kunjungan rumah. Sebagian besar klien pemasyarakatan memang mampu menjadi individu yang baik, diantaranya mereka yang sebelumnya mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup, kini sudah memiliki pekerjaan untuk bertahan hidup, mereka yang sebelumnya memiliki waktu luang dan digunakan untuk melakukan hal-hal negatif kini mulai mencari kesibukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME dan berkarya sesuai bakat minatnya sebagai sumber tambahan penghasilan, dan lain sebagainya. Disisi lain, PK masih menemukan sebagian kecil klien pemasyarakatan yang belum bisa meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya, diantaranya mereka masih sering mabuk-mabukan, berkumpul hingga larut malam, sering meresahkan masyarakat, jarang melakukan kewajibannya beragama, dan lain sebagainya.
Pada case ini, dapat dilihat bahwa terdapat 2 sisi berbeda dari klien pemasyarakatan yaitu ketika berinteraksi dengan PK dan ketika menjadi dirinya sendiri. Dalam hal ini sebagian besar klien pemasyarakatan memang sudah berubah menjadi individu yang lebih baik dari sebelumnya, dimana mereka mampu melakukan hal-hal positif, sesuai nilai dan norma di masyarakat serta tidak melakukan kegiatan yang berpotensi melanggar hukum, dimana hal ini sesuai dengan tujuan dari Pemasyarakatan itu sendiri yang tertera pada UU RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yaitu Membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Disisi lain berdasarkan pengalam penulis selama bertugas sebagai PK, klien yang hanya memerankan peran sebagai individu yang baik di hadapan PK sebenarnya memiliki maksud dan tujuan tertentu, diantaranya agar klien pemasyarakatan tersebut direkomendasikan untuk mendapatkan asimilasi rumah dan integrasi, direkomendasikan hukuman yang ringan (kasus Anak Berhadapan dengan Hukum), diberikan kelonggaran dalam hal wajib lapor, dan lain sebagainya. Namun dalam hal ini, PK tidak serta merta langsung mempersepsikan bahwa klien yang patuh dan bersikap baik di hadapan PK adalah klien pemasyarakatan yang baik. PK mempelajari itu semua berdasarkan proses penjajakan kehidupan pribadi dan kehidupan sosial dari klien pemasyarakatan itu sendiri mulai dari awal bertemu, pada saat masa pembimbingan, hingga selesai masa pembimbingan.
Klien pemasyarakatan yang hanya memerankan peran sebagai individu yang baik di hadapan PK mendapatkan porsi lebih dalam pemberian pembimbingan dan pengawasan, mereka juga diberikan porsi pembimbingan kepribadian dalam hal keagamaan dan pembimbingan kemandirian dalam hal pelatihan penunjang dunia kerja guna menjadikan mereka menjadi pribadi yang lebih baik lagi, namun hal ini perlu ditunjang dengan kepedulian dan peran aktif dari penjamin/wali, keluarga, masyarakat serta pemerintah setempat untuk memberikan pembimbingan dan pengawasan, mengingat keterbatasan jumlah PK dan intensitas interaksi serta tatap muka kepada klien pemasyarakatan yang tidak bisa dilaksanakan selama 24 jam penuh.
Apabila pihak terdekat klien pemasyarakatan mampu memaksimalkan perannya dan ditunjang dengan pengambilan keputusan dan rekomendasi yang tepat pada saat litmas, pendampingan dan sidang tpp serta penambahan porsi pembimbingan dan pengawasan oleh PK yang telah dilaksanakan sebelumnya mampu menjadi solusi atas penyelesaian permasalahan sekaligus solusi atas pemenuhan kebutuhan bagi klien pemasyarakatan, maka permainan peran sebagai individu yang baik oleh klien pemasyarakatan mampu diminimalisir, dengan harapan agar perubahan yang sebelumnya hanya nampak dipermukaan, mampu terinternalisasi dalam diri klien pemasyarakatan dan siap untuk diterapkan dalam hidup bermasyarakat.
Oleh: Henrikus Varian Orlando (PK Pertama Bapas Kelas II Baubau)