KENDARI, suryametro.id – Bencana banjir dan tanah longsor masih terus terjadi di Sulawesi Tenggara (Sultra). Khususnya di daerah-daerah yang memiliki aktivitas pertambangan. Seperti yang terjadi baru-baru ini di Desa Tapunggaya, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Minggu (11/7/2021).
Banjir dan tanah longsor tersebut mengakibatkan puluhan rumah warga rusak terendam banjir. Sejumlah fasilitas pendidikan seperti gedung sekolah yang ada di desa tersebut. Kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan disinalir sebagai penyebabnya.
“Musim hujan telah datang. Di sekitar pemukiman warga Desa Tapunggaya yang menjadi korban tanah longsor terdapat beberapa perusahaan tambang aktif yang saat ini sedang beroperasi,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Mining dan Energy Studies (IMES), Erwin Usman melalui rilis yang diterima suryametro.id.
Olehnya itu, Presidium Nasional PENA ’98 ini juga meminta kepada Gubernur Sultra, Ali Mazi dan Bupati Konawe Utara (Konut), Ruksamin untuk dapat memastikan penanganan tanggap bencana berjalan dengan baik dan optimal terhadap warga yang terdampak.
Pihaknya juga meminta pihak pemerintah dapat mengambil langkah korektif untuk berkoordinasi efektif dengan Kementerian ESDM, Kementerian Investasi, Kementerian LHK dan Kementerian ATR/BPN guna dilakukan evaluasi total dan penertiban seluruh tambang di Konut dan Sultra pada umumnya.
“Langkah ini penting diambil untuk memastikan bila musim hujan terus berlangsung, rakyat dan harta bendanya tidak menjadi korban sia-sia. Akibat absennya kebijakan pemihakan pada lingkungan hidup, pelestarian alam, dan keberlanjutan fungsi pelayanan alam. Kini, saatnya untuk melakukan evaluasi yang tegas, konkret dan terukur. Jangan menunggu bencana ekologi yang lebih dasyat terjadi-berulang,” urainya.
Selain itu, Erwin juga mendesak kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera mengambil tindakan terahadap para perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Diketahui, sejak 2009 hingga sekarang, di Sultra ada sekitar 520 IUP yang dinilai abai atau lalai dan remeh terhadap dampak lingkungan yang terjadi.
“Padahal sudah disarankan untuk segera gelar tindakan pemeriksaan menyeluruh. Komplit, terpadu dan terintegrasi dengan cara melakukan audit dan due deligence (pemeriksaan menyeluruh, audit, komprehensif) terhadap IUP yang legal maupun tidak,” tegas Erwin.
Caranya? lanjut Erwin dengan menggelar tindakan tindakan pemeriksaan secara detail (audit dan due deligence) atas 520 izin usaha pertambangan — mayoritas nikel — yang terbit sejak tahun 2009. Gandeng KPK, BPK, LHK, Polri, Kejaksaan, DPR (komisi III bidang hukum dan VII bidang ESDM), kampus, serta libatkan elemen masyarakat.
“Agar penanganan masalah tidak parsial, kasus per kasus. Reaksioner. Tiba masa, tiba akal. Tiba bencana banjir baru gerak. Baru grasa grusu. Atau, gaduh pas ada yang ditangkap, seperti PT Toshida kemarin,” pungkasnya.
Meski sudah bersuara, apa yang disampaikan tidak selalu menjadi agenda prioritas. Padahal akibat dari dampak lingkungan itu bisa menelan korban jiwa dan kerugian materi tak sedikit. Selain itu, sering terjadi konflik agraria dan kekerasan terhadap warga yang menolak aktivitas pertambangan.
Yang menjadi skala prioritas dari pemerintah hanyalah bagaimana cara membangun jalan berbiaya super mahal seperti jalan Wisata Toronipa-Kendari, pembangunan perpustakaan (daerah) internasional, pembangunan rumah sakit jantung internasional yang semuanya dari utang daerah.
“Walau berkali-kali banjir bandang menerjang (triliun rupiah kerugian ditimbulkan). Pencemaran masif terjadi di area eksploitasi. Belum lagi, konflik agraria dan kekerasan pada warga penolak tambang. Semua dianggap remeh,” tutupnya.
Penulis : Hariman