WANGI-WANGI, suryametro.id – Meskipun mendapat kecaman dari masyarakat dan aktifis pemerhati lingkungan, pembangunan talut di dua desa yakni desa Koroe Onowa dan desa Wapia-Pia, Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi, masih terus berlanjut.
Proyek APBN yang menelan uang negara sebesar 23 Milyar tersebut, belum mendapatkan solusi yang berpihak kepada rakyat. Pasalnya, sejauh ini masyarakat nelayan masih tetap mengeluh dengan adanya beton-beton yang berjejer sepanjang pantai Waha Raya.
“Kita setengah mati pak, kalau dulunya kita bawah hasil laut masih nyaman kita kasi naik ke darat dengan perahu-perahunya, hari ini sudah paling susah, bahkan sudah ada yang mengeluh karena terjatuh,” keluh salah satu nelayan, La Bou belum lama ini.
Terkait persoalan ini, Wakil Bupati Wakatobi, Ilmiati Daud saat ditemui, Selasa (13/9/2021) mengatakan, Pemerintah kabupaten Wakatobi sudah pernah berdiskusi langsung dengan masyarakat dan dari pihak kementerian. Katanya, sudah ada solusi yang diberikan.
Ditanya, solusi apa yang berikan Pemda terkait Keluruhan masyarakat, Ilmiati Daud tidak memberikan jawaban pasti, hanya menegaskan bahwa sudah ada solusinya.
“Kan masih terus berlanjut nih, kita cari solusi terbaik dari pembangunan yang sudah berlangsung, pak bupati juga ini baru pulang dari Jakarta membicarakan hal ini dengan kementerian terkait,”ucapnya.
Katanya, tentang solusinya, ia tidak tahu banyak karena tidak mengikuti rapat bersama kementerian.
“Sebenarnya sudah ada yang solusi yang diberikan oleh kementerian tapi masyarakat sendiri yang tadinya mau habis itu tidak mau lagi. Kita berharap ada output untuk kebaikan kita bersama, outputnya itu ya kita ikuti aja,”katanya.
Untuk diketahui, pembangunan talut dengan dengan panjang kurang lebih 600 meter tersebut, pernah dikeluhkan oleh masyarakat setempat dengan melakukan aksi protes. Alih-alih mendapatkan solusi, aksi protes yang dilayangkan hanya berbuah ancaman kepada masyarakat setempat.
Mengetahui hal tersebut, Ilmiati Daud menyampaikan, masyarakat silahkan melapor kepada pemerintah atau langsung kepada dirinya apabila ada pihak-pihak yang melakukan pengancaman kepada masyarakat.
“Kalau ada yang mengancam nanti lapor saya,”cetusnya.
Melalui hasil penulusuran media ini, masyarakat mengaku telah beberapa kali mendapatkan ancaman dari sejumlah oknum.
“Katanya kalau kita tidak ikut, bantuan dari pemerintah sudah tidak lagi kita dapat dan ada-ada saja ancamannya,” ucap salah satu warga yang tidak mau disebutkan namanya.
Padahal, masyarakat setempat mengaku tak pernah diberitahu bahwa akan ada pembangunan talut. Setelah pembangunan berjalan baru masyarakat setempat dirembuk untuk menyepakati pembangunan talut dengan panjang 600 meter tersebut.
Selain mengganggu aktivitas nelayan, masalah lingkungan terkait pembangunan talut juga dipertanyakan. Pasalnya, pembangunan dibibir pantai tersebut dinilai mengubah bentuk bibir pantai.
“Proyek tersebut kami nilai sangat tidak memperhatikan dampak dari kerusakan alam yang akan terjadi nantinya. Semisal pengerukan pasir putih di bibir pantai, dimana akan di buatkan beton hal itu jelas menambah dampak buruk bagi kerusakan alam kita yang akan datang,” ucap aktivis Pemerhati Lingkungan, Emen Lahuda.
Tak hanya itu, ia juga mempertanyakan dokumen lingkungan proyek tersebut. Ia meminta agar pemenang tender proyek dapat menunjukkan dokumen analisis dampak lingkungan kepada masyarakat.
“Tunjukan hasil dari pada AMDAL dari proyek tersebut. Seharusnya ada upaya untuk penambahan timbunan pasir, bukan di gali ataupun mengambil pasirnya. Ini belum ada upaya dari kita semua agar tidak terjadi abrasi malah merusak pesisir pantai dengan cara di keruk dan di gantikan beton,” ungkapnya via WhatsApp, Minggu (6/9/2021).
Pembangunan beton di sepanjang pesisir Waha raya hingga kini masih menjadi polemik. Pasir putih yang dahulunya pernah menjadi kebanggaan pariwisata Wakatobi kini berubah menjadi sebuah susunan beton-beton yang kokoh. Kegunaan dari talut tersebut apakah akan menjadi pelindung atau justru menambah kerusakan lingkungan, hanya Waktu yang bisa menjawabnya.
Reporter: Samidin