JAKARTA, suryametro.id – Republik Indonesia masuk dalam sembilan negara kuat di kawasan Asia-Pasifik berdasarkan dari laporan riset Lowy Institute Asia Power Index 2021 Edition.
Riset itu juga menekankan bahwa kawasan Asia-Pasifik belakangan ini amat rentan dengan kemungkinan perang, terutama antara dua negara terkuat, Amerika Serikat dan China.
Laporan dari Lowy Institute berdasarkan pada delapan indikator untuk memetakan kekuatan negara-negara di Asia-Pasifik. Komponen tersebut antara lain kemampuan ekonomi, kemampuan militer, ketahanan, sumber daya di masa depan, hubungan ekonomi, jejaring pertahanan, pengaruh diplomatik, dan pengaruh budaya.
AS sendiri masih berada di peringkat teratas sebagai negara kuat yang mengalami tren kenaikan di kawasan Indo-Pasifik.
Sebaliknya, China yang berada di peringkat kedua justru mengalami penurunan relatif, sama seperti sebagian besar negara-negara kekuatan menengah seperti Jepang, India, dan Rusia.
Indonesia sendiri mampu merangsek naik dua peringkat di posisi sembilan negara kuat di kawasan Asia-Pasifik. RI kini berada di atas Thailand dan Malaysia dengan skor 19,4.
RI berada di bawah Korea Selatan dan Singapura yang masing-masing menempati posisi ketujuh dan kedelapan. Kekuatan yang paling menonjol dari delapan komponen bagi Indonesia adalah pengaruh diplomatis dan sumber daya di masa depan.
Sementara itu mengutip News.com.au, Direktur Proyek Lowy Institute, Herve Lemahieu, mengatakan Asia-Pasifik dalam risiko pecah perang.
“Risiko perang berasal dari fakta bahwa terdapat perlombaan senjata di kawasan itu (Asia-Pasifik),” ujar Lemahieu.
“Ini bakal melibatkan AS dan China, juga bisa melibatkan negara-negara lain seperti India, Jepang, dan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam yang memiliki sengketa laut dengan China,” ia menambahkan.
Lemahieu menyebut ada banyak faktor bahwa perang bisa pecah karena tensi yang semakin meningkat. Setidaknya, ia melanjutkan, ada dua negara dengan kekuatan terbesar yang bisa menyebabkan efek domino.
“China sebagai kekuatan baru memiliki kepercayaan diri, dan arogansi, sementara AS khawatir terhadap China dan kebangkitan negara itu,” Lemahieu menerangkan.
“Perpaduan kekuatan emosional dapat menyebabkan miskomunikasi dan konflik yang tidak diinginkan sehingga mengarah pada perang.”