Oleh: Abdul Rachman Rika, SE., M.Si (Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHO)
MAFIA tambang telah lama menjadi agen degradasi hutan, tidak terkecuali di Provinsi Sulawesi Tenggara yang menjadi primadona sektor tambang global menuju peradaban teknologi lithium yang berbahan dasar nikel. Keberadaan mafia ini selalu membawa persoalan seperti polemik izin pinjam pakai kawasan hutan, izin operasional terminal khusus, konflik, sengketa, dan perkara agraria dan pertanahan seolah tak terselesaikan secara adil, dan angkanya naik setiap tahun.
Sebagai masalah lama yang belum terpecahkan, tercatat telah terdapat beberapa upaya untuk memberantas mafia tambang. Penguatan regulasi sektor tambang hingga sektor terkait selalu diupayakan oleh Pemerintah. Namun, tak jarang justru perselingkuhan antara mafia dan oknum birokrasi serta Aparat Penegak Hukum (APH) menjadikan komunitas ini tumbuh subur dan menjamur hingga ke sektor lain.
Fenomena tersebut tidak layal memunculkan beberapa lembaga non pemerintah yang terbentuk dengan maksud mengawal percepatan penyelesaian konflik tambang. Beberapa diantaranya serius menjalankan visi organisasinya namun memiliki daya yang kecil untuk menekan perbaikan sistem tata kelola tambang, sebagian lainnya memilih menjadi “istri simpanan” mafia tambang yang dihidupi dari hasil jarahan terhadap bumi mereka berpijak. Dengan demikian, penyelesaian kejahatan sektor tambang bak buih di lautan.
Hingga kini persoalan pertambangan tetap menjadi persoalan utama laporan masyarakat kepada institusi seperti Kepolisian, Kejaksaan, Eksekutif, Legislatif, Ombudsman RI, dan lembaga lain yang berwewenang namun juga menyisahkan kasus yang belum terselesaikan.
Sesungguhnya, apa yang mendorong tumbuh suburnya mafia tambang?. Faktanya, dimana pun persekutuan mafia tumbuh dan berkembang karena ketertutupan, rendahnya kualitas pengawasan publik, dan minimnya penegakan hukum. Tiga hal tersebut semakin mengkonversi ekosistem mafia tambang ketika pembangunan ekonomi telah menjadikan tambang menjadi aset dan komoditas ekonomi daerah.
Kita seakan melupakan bahwa nikel yang terkandung di perut Bumi Anoa juga memiliki fungsi sosial. Bahkan lebih jauh, nikel telah menjadi alat bagi penciptaan ruang akumulasi baru yang lebih menjanjikan ketika perencenaan tambang juga disetir oleh modal dan pasar.
Sebagai aset, nikel merupakan instrumen investasi dan salah satu komoditi material ekspor yang diincar negara-negara industri. Bahkan, menurut Tesla Inc. (2020), nilainya puluhan kali bagi negara-negara pemburu investasi. Sebagai komoditas, nikel dapat diperjualbelikan secara mudah, tetapi dengan pencatatan yang buruk.
Keadaan ini telah menghasilkan jenis mafia tambang model pertama, yakni melakukan usaha sistematis dengan pejabat terkait untuk melakukan penyertifikatan, tumpang tindih sertifikat, jual beli palsu, hingga balik nama sertifikat tanah-tanah milik masyarakat. Korban dari mafia ini akan mengalami penggusuran, baik karena ketiadaan bukti formil maupun minimnya jenjang kekuasaan.
Biasanya, operasi mafia semacam ini berkesinambungan dengan jenis mafia tambang lanjutan, yakni kelompok besar yang mampu melakukan pengubahan tata ruang. Persekongkolan semacam ini dapat menghasilkan perubahan kawasan hijau dan konservasi menjadi kawasan bisnis petambangan, pemutihan terhadap pelanggaran tata ruang, hingga perubahan arah proyek perhutanan yang ironisnya semakin memudahkan komersilisasi atas perubahan ruang yang terjadi.
Upaya untuk memperbaiki keadaan semacam ini bukan perkara ringan. Sebab, perlawanan balik mafia tanah kepada pihak yang mencoba melakukan ralat, revisi, atau pembatalan terhadap kesalahan yang sebelumnya terjadi berujung kepada kriminalisasi masyarakat, bahkan mutasi dan demosi birokrat.
Bagaimanapun negara harus menang dalam persoalan mafia tambang semacam ini. Masalah mafia tambang jelas pertama dapat segera diselesaikan secara terbuka oleh sinergitas Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Kehutanan & Lingkungan Hidup. Jika tanpa tebang pilih melakukan upaya revisi, ralat, pembatasan atas terbitnya sejumlah izin tambang dan eksplorasi hutan yang telah menghasilkan sejumlah konflik, kerusakan hutan, sengketa agraria, dan peranpasan tanah masyarakat.
Langkah selanjutnya ialah mencegah dan menghentikan model mafia tambang kedua dengan menerapkan keterbukaan data tambang (open mining data) sebagai bagian dari sistem informasi pertambangan dan tata ruang secara lengkap. Pembangunan sistem data pertambang yang terbuka akan menjadikan pengawasan publik semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya.
Keuntungan utama dari keterbukaan data pertambangan akan mempercepat lahirnya data tambang nasional yang akurat sehingga dapat dijadikan dasar bagi perencenaan pembangunan sektor tambang, baik sebagai langkah untuk melakukan pengurangan deforestasi dan degradasi hutan maupun proses pembangunan jika yang berkelanjutan.
(adm)