Pagi itu, cahaya mentari bersinar terang dari ufuk selatan Kepulauan Buton, dibawah cahaya itu, kisah Ningsih Sri Handayani kembali disajikan.
Ningsih Sri Handayani memang bukan anak nelayan pesisir pantai Laompo yang kerap bermain dalam gelombang laut, namun semangatnya membongkar dugaan praktek “mafia” CPNS di Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara, seakan tidak pernah surut.
Penulis: Muhammad Ilor Syamsuddin – suryametro.id
Kisah Ningsih Sri Handayani yang berani secara terbuka membongkar dugaan praktik “mafia” Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang dialaminya di Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi tenggara pada tahun 2019 yang lalu, masih terus berlanjut.
Gerakan Ningsih untuk melawan kezaliman di negeri beradat, terlihat tak pernah surut. Bahkan dengan lantang terus dia suarakan.
Di cerita awal, Ningsih telah berbagi kisahnya saat dia berjuang sendiri ketika haknya untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dirampas oleh oknum-oknum mafia CPNS di Kabupaten Buton Selatan.
Tidak tanggung, sejumlah nama berani dia sebutkan sebagai dalang serta aktor atas kasus dugaan praktik mafia CPNS yang terjadi di tahun 2019 yang lalu.
Sebut saja Mr F yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Buton selatan, dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas dugaan praktik “Mafia” CPNS.
Bahkan Ningsih secara terbuka membeberkan salinan chating via WhatsApp antara dia dan orang yang di duga Mr F dalam akun media sosial Facebook miliknya.
“BAPAK KEPALA BKPSDM BUSEL YG TERHORMAT ,BAPAK MSH INGAT SURAT PERNYATAAN INI ATAU PURA2 LUPA???? Sy msh simpan rapi kok pak walaupun uda agak usang sihh..Bpk Tanda tangannya di atas materai lohh pak,Ayok Pak respon donk,jgn diam2 baee Buka donk pak blokiran Whatssapp n Fb sy,knp Whatssapp n fb sy hrs bpk blokir???,” tulis Ningsih dalam akun Facebook miliknya.
Tidak hanya itu, dalam dalam akun Facebooknya, Ningsih juga membeberkan bahwa yang menggantikan namanya dalam kelulusannya sebagai ASN saat itu adalah kemenakan dari Mr F.
“Pak F spert org yg buta hati ,setelah saya tau smuanya 1 pun chat ku nda dia respon setelah itu sa di blokirmi (lari dari mslah,uda puasmi krn dia sdh lluskan mi ponakannya),” tulisnya kembali.
Sebelum membuka tabir siapa Mr F dan Mr M yang disebut Ningsih dan apa peran mereka, serta siapa saja selain Mr F dan Mr M yang terlibat dalam praktik mafia CPNS tersebut, sebelumnya dilanjutkan cerita Ningsih yang berjuang sendiri untuk mendapatkan haknya.
Ditengah kondisi berduka saat itu, karena ayahnya meninggal dunia, Ningsih yang kuat harus mendatangi kantor BKN regional Makassar setelah dia tidak mendapatkan jawaban pasti atas Nomor Induk Pegawai (NIP) dari pihak BKD Busel.
Baca Juga Kisah Ningsih Bagian Pertama: Kisah Ningsih Sri Handayani, Korban Praktek “MAFIA” CPNS di Buton Selatan Berjuang Menuntut Keadilan
Berkas-berkas hasil ujian dan bukti-bukti kelulusannya saat pengumuman CPNS, kemudian dibawa serta di kantor BKN regional Makassar oleh Ningsih.
Namun sayang, usaha untuk mendapatkan jawaban pasti atas nasibnya pupus setelah pihak BKN regional Makassar tetap mengembalikan seluruh kebijakan itu pada pemerintah daerah setempat khususnya BKD Busel.
Bahkan kehadirannya di BKN regional Makassar saat itu, telah lebih awal dengan masuknya surat dari BKD Busel atas revisi hasil pengumuman tes CPNS dalam formasi yang di ikuti Ningsih.
Bukan hanya itu, dalam revisi tersebut juga dilampirkan pemberian hak istimewa atas penambahan 10 poin pada Putra/Putri lokal dan hanya di berikan pada formasi yang diikutinya.
Pemberian hak istimewa tersebut, kemudian ditentang oleh Ningsih di kantor BKN Regional Makassar. Sebab sebelumnya, pihak pemerintah daerah yang di tandatangani oleh PLT Bupati Busel Laode Arusani dan kepala BKD Busel, telah mencabut hak istimewa tersebut dalam surat pernyataan mereka ketika 20 CPNS melaporkan kasus praktek mafia CPNS di Polres Buton.
“Saya sempat ribut di BKN regional Makassar pertanyakan pemberian hak istimewa itu, padahal waktu kami laporkan praktek mafia CPNS ini di Busel. Pak bupati sama kepala BKD Busel sudah cabut aturan itu, sehingga kami sebanyak 20 orang diluluskan saat itu,” ucap Ningsih kepada suryametro.id.
Genderang perlawanan telah ditabuh sejak awal, Ningsih yang tidak surut berjuang mendapatkan haknya, akhirnya memilih kembali dan menyusun langkah perlawanan.
Ibarat kata pepatah, “kita harus mundur beberapa langkah untuk melakukan lompatan lebih tinggi”, itulah yang di lakukan Ningsih kemudian.
Sepulangnya dari BKN regional Makassar, Ningsih kemudian kembali ke Busel dan melengkapi berkas dan bukti dugaan praktek mafia CPNS yang dialaminya.
Setelah dianggap lengkap dan cukup, Ningsih kemudian kembali mendatangi Polres Buton untuk melaporkan dugaan kecurangan tersebut namun sayangnya sampai berbulan-bulan laporan polisi tidak kunjung mendapat respon dari pihak kepolisian setempat.
“Sudah semua saya kumpulkan pak dan semuanya sudah saya laporkan ke Polres Buton, tapi entah kenapa sampai saat ini laporan dan aduan saya belum mendapat respon,” lanjut Ningsih
Tak surut berjuang, sembari menanti ketidakpastian atas laporan polisi yang di layangkannya di Polres Buton, Ningsih kembali mencari keadilan atas haknya dengan mendatangi kantor Ombudsman RI Sulawesi tenggara (Sultra) yang berada di Kota Kendari.
Di kantor Ombudsman RI Sultra, Ningsih menceritakan seluruh yang dialaminya, bahkan bukti-bukti yang dimilikinya juga telah diperlihatkan .
Namun lagi-lagi, pihak ombudsman juga rupanya belum tertarik mengambil peran atas nasib yang dialami Ningsih saat itu.
“Dari pihak Polres Buton saya tidak dapatkan jawaban pasti atas laporan ku pak, akhirnya saat itu saya ke ombudsman RI di Kendari, tapi sampai disana juga kasian saya tidak mendapatkan jawaban,” ungkap Ningsih.
Merasa lelah atas perjuang yang dilakukannya untuk mendapatkan haknya, Ningsih akhirnya coba menggugurkan dan menanam seluruh cita-citanya untuk menjadi seorang ASN.
Sikap itu diambil oleh Ningsih, setelah pihak keluarga memintanya untuk berhenti melakukan perjuangan tersebut.
Pihak keluarga menganggap, seluruh perjuangannya akan menjadi sia-sia karena lawan tanding Ningsih adalah para pejabat dan kelompok “mafia” CPNS. Sedangkan Ningsih, hanya seorang warga masyarakat kecil yang coba mencari keadilan atas haknya.
“Saya rasa, perjuanganku saya cukupkan mi karena memang mereka sangat kuat, saya sudah tidak sanggup, saya Ikhlas, saya Ikhlas, demi Tuhan,” ucapnya lirih.
Hari berganti bulan, hingga ditahun berikutnya Ningsih yang mengetahui adanya seleksi CPNS di Kabupaten Buton, kembali memulai dari nol dan mencari peruntungan dengan mengikuti seleksi tersebut.
Bersama ratusan pelamar saat itu, Ningsih ikut mengantri menjadi pendaftar, namun anehnya berkas pendaftaran yang didaftarkan atas namanya tidak dapat terimput dalam sistem seleksi CPNS secara online.
Ningsih yang belum menaruh curiga saat itu, terus berusaha namun sayang, lagi-lagi sistem menolak nama Ningsih.
Dua hari menuju penutupan pendaftaran, Ningsih akhirnya coba mendatangi kantor UPT BKN di kendari.
Di tempat itu, Ningsih diminta membuat aduan atas apa yang menjadi laporannya, hingga dalam waktu singkat segala keresahannya itu pun terjawab.
Melalui salah satu pegawai UPT BKN di Kendari, penyebab nama Ningsih tertolak dalam sistem pendaftaran online BKN RI adalah Nomor Induk KTP yang dimilikinya telah tercatat sebagai lulusan ASN di kabupaten Buton selatan tahun 2019.
“Saya kayak disambar petir mendengar itu kasihan, saya hanya bisa kembali menangis sambil berdoa dan coba memaafkan ulah mereka yang telah zalim mengambil hak ku,” ungkap Ningsih.
Apa yang membuat laporan Polisi Ningsih atas dugaan kecurangan CPNS tahun 2019 hingga tidak ditindaklanjuti oleh penyidik kepolisian Polres Buton…?
Apa peran Mr F dan Mr M dan siapa mereka?
Apakah ada aktor lain selain Mr F dan Mr M dalam dugaan praktek mafia CPNS di Busel?
Seperti apa perjuangan Ningsih selanjutnya dalam membongkar dugaan praktek mafia CPNS di Busel?, menarik untuk dinanti
Bersambung…!!!