Pemecatan Pegawai KPK dan Warisan Sejarah di Era Jokowi

114 views
Presiden Joko Widodo tak berbuat banyak menyelamatkan puluhan pegawai KPK yang dipecat Firli Bahuri Cs. (CNN Indonesia/ Feri Agus Setyawan)

JAKARTA, suryametro.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan 57 pegawai yang dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status menjadi ASN diberhentikan per 30 September mendatang.

Enam orang di antaranya, adalah mereka yang tidak mau mengikuti diklat bela negara untuk diangkat menjadi ASN. Terdapat sejumlah nama penyelidik dan penyidik dalam daftar nama tersebut.

Pemberhentian itu lebih cepat satu bulan dibandingkan yang termuat dalam SK Nomor 652 Tahun 2021. Dalam SK tersebut puluhan pegawai KPK akan diberhentikan pada 1 November 2021.

Puluhan pegawai KPK, termasuk Novel Baswedan tinggal menghitung hari angkat kaki dari markas lembaga antirasuah. Mereka seperti dibuang oleh pimpinan KPK Firli Bahuri Cs.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tak berbuat banyak terkait pemecatan puluhan pegawai KPK tersebut. Ia sempat menyatakan agar hasil TWK KPK tak menjadi dasar memberhentikan pegawai lembaga antikorupsi. Namun, kini Jokowi buang badan.

“Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan,” kata Jokowi dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (15/9).

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengkritik pernyataan Jokowi yang meminta persoalan tidak ditarik kepadanya. Wawan menilai Jokowi telah melempar tanggung jawab.

Menurutnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyatakan KPK berada di ranah eksekutif.

“Sebagai kepala pemerintahan dan pimpinan tertinggi ASN ya beliau harus tanggung jawab. Karena UU KPK kan sudah menyatakan seluruh pegawai KPK bagian ASN. Jadi artinya proses alih status itu menjadi tanggung jawab dari pembina utama ASN ini, yakni presiden,” kata Wawan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (17/9).

Wawan mengatakan Jokowi masih memiliki waktu untuk mengambil alih permasalahan ini. Menurutnya, jika sampai 30 September nanti Jokowi tidak mengambil sikap jelas, bisa disimpulkan langkah Pimpinan KPK memecat puluhan pegawai KPK sudah mendapat restu.

“Kita harus melihat kalau Pimpinan KPK sudah memutuskan dan presiden tidak mengambil sikap, ya berarti begitu lah sikap presiden kita, artinya presiden merestui pemberhentian pegawai itu. Kita tinggal menunggu sikap,” katanya.

Lebih lanjut, Wawan juga menyoroti tindakan pimpinan KPK yang mempercepat pemberhentian pegawai menjadi 30 September. Padahal UU KPK, kata dia, menyatakan proses alih status dilakukan paling lambat dua tahun sejak UU berlaku.

“Undang-undang direvisi Oktober 2019, terus kenapa mereka ambil keputusan 30 September. Kenapa dipercepat?” ujarnya.

Dalam skala lebih besar, Wawan mengatakan pemecatan itu merupakan upaya pembusukan pemberantasan korupsi yang mendekati sangat sempurna.

“Undang-undang sudah direvisi, independensi sudah hilang karena di bawah eksekutif dan kewenangan berkurang karena penggeladahan dan penggeledahan harus izin Dewas, juga Dewas yang tebang pilih dengan putusannya dan yang terakhir menyingkirkan para pegawai yang berintegritas,” katanya.

Sejumlah nama yang dipecat Firli Cs adalah penyidik dan penyelidik senior. Mereka antara lain Ambarita Damanik, Novel Baswedan, Budi Agung Nugroho, Ronald Paul Sinyal, Yudi Purnomo, Harun Al Rasyid, Herbert Nababam, dan beberapa nama lainnya.

Wawan menilai semakin ke sini komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi terlihat hanya ada di atas kertas. Hal itu, kata dia, dapat dibuktikan dari indeks persepsi Indonesia yang turun, hasil survei yang menyatakan kepercayaan publik terhadap KPK turun, hingga tuntutan dalam kasus korupsi yang dinilainya tidak maksimal.

Wawan mencontohkan kasus korupsi bansos yang menjerat Mantan Mensos Juliali Batubara. Pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri terkait tuntutan pidana mati terhadap pelaku korupsi di tengah bencana hanya menjadi angin lalu, lantaran tak terbukti.

“Jadi ke depan bagaimana? Kalau tidak diperbaiki ya kita sudah tidak bisa lagi mengandalkan pemerintah, badan legislatif, yudikatif untuk turut serta harapan masyarakat memberntas korupsi,” katanya.

“Mau tidak mau masyarakat sipil yang punya semangat ya kita harus berjuang dari awal lagi. Kita harus jaga nilai integritas itu. Artinya tidak bisa lagi andalkan komitmen pemerintah,” ujar Wawan melanjutkan.

Kontradiksi Jokowi
Dihubungi terpisah, Pengamat Politik dari Universitas Paramadina, Arif Susanto menilai secara normatif pernyataan Jokowi yang meminta urusan pegawai KPK tidak dibawa kepadanya sudah tepat.

Namun, berdasarkan fakta yang terjadi, ia mengatakan tidak jarang Jokowi justru terlibat langsung dalam hal kecil yang tak harus dilakukannya.

Arif mencontohkan aksi bagi-bagi kaos Jokowi kepada masyarakat. Selain itu, Jokowi juga turun langsung membagikan sembako dan meninjau vaksinasi Covid-19.

“Secara normatif pernyataan Presiden benar, tetapi ia juga sekaligus mengandung kontradiksi, karena untuk perkara lain presiden bersedia lakukan yang relatif kecil, turun tangan. Sesuatu yang sebenarnya bisa diselesaikan level bawah,” katanya.

Arif mengatakan sikap kontradiksi Jokowi, yang mau mengurus hal remeh namun lepas tangan terkait masalah KPK, lantaran mantan gubernur DKI Jakarta itu terikat berbagai kepentingan.

“Semua orang paham, bahwa ada kekuatan ekonomi dan politik yang menyandera negara, jadi ini bukan hanya problem presiden secara personal, ini problem kelembagaan,” ujarnya.

“Bagi saya ini adalah sinyal bahaya, karena ternyata presiden tangannya terikat dari kemungkinan untuk bisa melakukan bentuk intervensi untuk perubahan, bukan intervensi untuk keuntungan sepihak,” kata Arif menambahkan.

Lebih lanjut, Arif menyinggung janji Jokowi terkait pemberantasan korupsi saat kampanye pemilihan presiden pada 2014 dan 2019 lalu. Arif menyebut jika Jokowi membereskan sejumlah masalah di KPK akan memberi keuntungan politik.

“Kalau mau, ini momentum sebenarnya, dan itu akan berikan keuntungan politik kalau memang presiden mau buat kalkulasi politik. Ini momentum bagus presiden untuk berkontribusi bereskan KPK, punya legacy yang akan diingat oleh semua orang bahwa nanti ketika dia selesai di 2024. Dia punya warisan penting pemberantasan korupsi,” katanya.

Sumber: CNNIndonesia.com