Penggambaran Tindak Kecurangan Pada Dugaan Korupsi Sektor Tambang Oleh Pejabat ESDM Sultra

82 views
Dosen Akuntansi UHO, Abdul Rachman Rika SE MSi

Kecurangan merupakan suatu hal negatif di mata masyarakat. Dimana kecurangan adalah tindakan yang dilakukan oleh individu atau pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari kewajiban, serta menyebabkan kerugian finansial atau non-finansial kepada pihak lain.

Oleh: Abdul Rachman Rika SE MSi – Dosen Akuntansi UHO

Menurut Klynveld Peat Marwick Goerdeler/KPMG (2013), kecurangan organisasi yang umum terkait dengan kasus penyalahgunaan aset, keliru dalam laporan keuangan, pencurian dana, dan korupsi, serta kecurangan terkait komputer, identitas, konsumen, dan rantai pasokan.

Fenomena kecurangan seperti korupsi telah menjadi masalah di hampir sebagian besar negara di dunia. Kasus korupsi biasanya melibatkan mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan seperti anggota legislatif, tokoh politik, para pimpinan kementerian dan lembaga tinggi negara, para kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota), dan para pejabat daerah.

Bahkan pada level bawah juga kasus korupsi sudah sering terjadi. Salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia yang pernah terungkap dan saat ini sedang bergulir adalah kasus dugaan korupsi aktivitas pertambangan PT Toshida Indonesia yang melibatkan Pejabat Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tenggara (Sultra).

Keempat tersangka yang ditetapkan Kejati Sultra terdiri dari LSO, Direktur Utama PT Toshida Indonesia, dan UMR General Maneger PT Toshinda Indonesia. Dua tersangka lain ialah BHR, mantan Plt Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral serta YSM, mantan Kepala Bidang Minerba, yang saat ini menjadi Plt Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga.

PT Toshida yang beroperasi sejak 2010, namun hingga maret 2021, tidak membayar kewajibannya dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp190 Milyar. Perusahaan ini juga telah mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), namun tidak melakukan kewajibanya kepada Negara, termasuk membayar Royalti, maupun CSR.

Akibat kelalaian itu, diakhir tahun 2020, Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Toshida Indonesia telah dicabut atau tidak diperbolehkan beroperasi. Kendati IUP PT Toshida telah dicabut, namun perusahaan itu diduga masih melakukan aktivitas penambangan, yaitu penjualan dan pengapalan selama empat kali, sehingga menambah kerugian keuangan negara sebesar Rp 75 miliar.

Hal ini diduga karena BHR, mantan Plt Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral serta YSM, mantan Kepala Bidang Minerba, yang saat ini menjadi Plt Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga memberikan izin perusahaan tersebut melakukan penambangan walau cacat prosedur. Sampai saat ini publik masih menyimpan pertanyaan terkait kasus tersebut, apa motif dari korupsi itu, bagaimana cara mencegah dan mendeteksi korupsi di sektor publik.

Ada banyak pendekatan yang bisa dipakai untuk untuk mencegah dan mendeteksi korupsi di sektor publik seperti fraud triangle, fraud diaomnd, dan fraud hexogen. Baiklah, pada kesempatan ini penulis akan mencoba memakai pendekatan fraud triangle dimana teori ini merupakan teori yang dikembangkan oleh Donald R. Cressey (1950) dan telah dipublikasikan dalam buku yang berjudul Other People’s Money: A Study in the Sosial Psychology of Embezzlement.

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 200 narapidana karena fraud, diperoleh hasil bahwa kecurangan (fraud) terjadi karena tiga faktor utama, yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization).

Tekanan (pressure)

Tekanan merupakan suatu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kecurangan (fraud) seperti korupsi. Konsep yang paling utama dalam tekanan adalah berupa tekanan yang menghimpit (berupa uang), bahwa hal tersebut tidak dapat dibagikan (sharing) kepada orang lain. Konsep inilah yang disebut dengan perceived non-shareable financial need (kebutuhan keuangan yang tidak dapat dibagikan).

Menurut Albrecht et al., (2011) tekanan dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) Tekanan finansial (financial pressure), seperti keserakahan (greedy), standar hidup yang terlalu tinggi (living beyond one’s means), banyaknya tagihan dan hutang (high bills or personal debt), kredit yang hampir jatuh tempo (poor credit), dan kebutuhan hidup yang tidak terduga (unexpected financial needs); (2) tekanan akan kebiasaan buruk (vices pressure); (3) tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related pressure); dan (4) tekanan lainnya (other pressure).

Berkaitan dengan fraud di sektor tambang yang melibatkan pihak PT. Toshida dan Pejabat ESDM Provinsi Sulawesi Tenggara propability tekanan yang dihadapi adalah Tekanan finansial (financial pressure), seperti keserakahan (greedy) karena merasa tidak puas dengan kompensasi sebagai PNS bagi Pejabat ESDM dan merasa kurang cukup merampok kandungan Bumi Anoa bagi pihak perusahaan.

Selain itu, tekanan berupa standar hidup yang terlalu tinggi (living beyond one’s means) diduga karena Pejabat ESDM ingin hidup mewah. Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related pressure) diduga karena adanya sistem balas jasa terkait jabatan yang telah diperolehnya dari yang memberi.

Kesempatan (opportunity)

Kesempatan adalah suatu peluang yang dapat menyebabkan kecurangan atau fraud (korupsi) terjadi. Hal ini biasanya terjadi dikarenakan adanya sistem pengendalian internal suatu organisasi yang sangat lemah, kurangnya atau bahkan tidak ada pengawasan, dan/atau peyalahgunaan kekuasaan atau jabatan. Dua komponen berkaitan dengan kesempatan dalam melakukan kecurangan, yaitu: informasi umum (general information) dan keterampilan teknis (technical skill).

Berkaitan dengan fraud di sektor tambang yang melibatkan pihak PT. Toshida dan Pejabat ESDM Provinsi Sulawesi Tenggara propability kesempatan yang dimanfaatkan adalah informasi umum (general information) seperti celah prosedural perizinan sebagai PNS bagi Pejabat ESDM. Selain itu dan keterampilan teknis (technical skill) diduga dimanfaatkan karena Pejabat ESDM memiliki kewenangan untuk bertandatangan atas segala dokumen perizinan walau catat prosedur.

Rasionalisasi (rationalization)

Rasionalisasi adalah pemikiran yang menjustifikasi tindakkannya sebagai sesuatu yang wajar, yang secara moral dapat diterima dalam suatu masyarakat yang normal (Zulkarnain, 2013). Artinya bahwa rasionalisasi diperlukan oleh pelaku kejahatan untuk dapat mencerna perilaku yang melawan hukum dan untuk mempertahankan dirinya sebagai orang yang dipercayakan.

Dellaportas (2012) mengemukakan beberapa alasan rasionalisasi (pembenaran) yang biasa digunakan seseorang atas tindakkannya melakukan kecurangan, antara lain: (1) organisasi berhutang kepada saya; (2) saya hanya meminjam dan akan membayarnya kembali; (3) tidak ada pihak yang dirugikan atau terluka dengan perbuatan yang dilakukan; (4) saya memiliki hak yang lebih besar; (5) hal ini untuk tujuan yang baik; (6) semua memperoleh kekayaan, mengapa saya tidak;

Berkaitan dengan fraud di sektor tambang yang melibatkan pihak PT. Toshida dan Pejabat ESDM Provinsi Sulawesi Tenggara propability rasionalisasi yang diduga dimanfaatkan adalah semua memperoleh kekayaan, mengapa saya tidak.

Deteksi dan Pencegahan Korupsi

Artiningrum et al., (2013), secara umum menyatakan bahwa faktor penyebab korupsi dibagi menjadi dua, yaitu: (1) faktor internal, yang dibagi menjadi dua, yaitu: aspek perilaku individu seperti sifat tamak/rakus manusia, moral yang kurang kuat, dan gaya hidup yang konsumtif, serta aspek social; (2) faktor eksternal, yang terdiri dari: aspek sikap masyarakat terhadap korupsi, aspek ekonomi, aspek politis, dan aspek organisasi.

Dengan menggunakan fraud triangle sebagai dasar pencegahan korupsi, maka yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: (1) apabila yang menjadi faktor pendorong adalah tekanan (pressure), maka yang harus dilakukan adalah dengan menghilangkan tekanan. Tekanan yang terjadi biasanya karena tekanan keuangan (financial) maupun non keuangan (non-financial).

Maka upaya pencegahan yang dilakukan adalah dengan penegakan hukum (sanksi). (2) apabila yang menjadi faktor pendorongnya adalah kesempatan (opportunity), maka upaya pencegahan yang dilakukan adalah perbaikan sistem pengendalian intern (SPI).

Dari ketiga elemen fraud triangle, kesempatan merupakan elemen yang paling mudah diminimalisir melalui proses, prosedur, dan kontrol, serta upaya deteksi secara dini terhadap korupsi.

Kesempatan juga merupakan aspek yang tidak bisa lenyap dari penyebab terjadinya korupsi; dan (3) apabila yang menjadi faktor pendorong adalah rasionalisasi (rationalization), maka pencegahan yang harus dilakukan adalah peningkatan nilai-nilai ANEKA setiap ASN sehingga pegawai dapat berpikir lebih baik dan jernih, serta tidak mencari pembenaran terhadap tindakan korupsi yang akan dilakukan.

Pemahaman teori fraud triangle yang berkaitan dengan pencegahan dan pendeteksian korupsi yang terjadi, kiranya dapat menjadi cara yang baik dan ampuh bagi kita dalam upaya melakukan penanggulangan korupsi. Pencegahan dan pendeteksian korupsi juga dapat mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government). Dengan penghilangan terhadap salah satu elemen dari Fraud Triangle, maka diharapkan kasus korupsi yang ada di Indonesia dapat dihindari dan dikurangi baik jumlah dan frekuensinya.(Opini)